Saturday 31 December 2011

Surat Kepada Kanjeng Nabi - Cak Nun


Ah, Muhammad, Muhammad. Betapa kami mencintaimu. Betapa hidupmu bertaburan emas permata kemuliaan, sehingga luapan cinta kami tak bisa dibendung oleh apa pun. Dan jika seandainya cinta kami ini sungguh-sungguh, betapa tak bisa dibandingkan, karena hanya satu tingkat belaka di bawah mesranya cinta kita bersama kepada Allah.
Akan tetapi tampaknya cinta kami tidaklah sebesar itu kepadamu. Cinta kami tidaklah seindah yang bisa kami ungkapkan dengan kata, kalimat, rebana, dan kasidah-kasidah.Dalam sehari-hari kehidupan kami, kami lebih tertarik kepada hal-hal yang lain.
Kami tentu akan datang ke acara peringatan kelahiranmu di kampung kami masing-masing, namun pada saat itu nanti wajah kami tidaklah seceria seperti tatkala kami datang ke toko-toko serba ada, ke bioskop, ke pasar malam, ke tempat-tempat rekreasi.
Kami mengirim shalawat kepadamu seperti yang dianjurkan oleh Allah karena Ia sendiri beserta para malaikat-Nya juga memberikan shalawat kepadamu. Namun pada umumnya itu hanya karena kami membutuhkan keselamatan diri kami sendiri.
Seperti juga kalau kami bersembahyang sujud kepada Allah, kebanyakan dari kami melakukannya karena kewajiban, tidak karena kebutuhan kerinduan, atau cinta yang meluap-luap. Kalau kami berdoa, doa kami berfokus pada kepentingan pribadi kami masing-masing.
Sesungguhnya kami belum mencapai mutu kepribadian yang mencukupi untuk disebut sebagai sahabatmu, Muhammad. Kami mencintaimu, namun kami belum benar-benar mengikutimu. Kami masih takut dan terus menerus tergantung pada kekuasaan-kekuasaan kecil di sekitar kami. Kami kecut pada atasan. Kami menunduk pada benda-benda. Kami bersujud kepada uang, dan begitu banyak hal-hal yang picisan.
Setiap tahun kami memperingati hari kelahiranmu. Telah beribu-ribu kali umatmu melakukan peringatan itu, dan masing-masing kami rata-rata memperingati kelahiranmu tiga puluh kali. Tetapi lihatlah : kami jalan di tempat. Tidak cukup ada peningkatan penghayatan. Tidak terlihat output personal maupun sosial dari proses permenungan tentang kekonsistenan. Acara peningkatan maulidmu pada kami mengalami involusi, bahkan mungkin degradasi dan distorsi.

Negarawan Agung
Zaman telah mengubah kami, kami telah mengubah zaman, namun kualitas percintaan kami kepadamu tidak kunjung meningkat. Kami telah lalui berbagai era, perkembangan dan kemajuan. Ilmu, pengetahuan, dan teknologi kami semakin dahsyat, namun tak diikuti dahsyatnya perwujudan cinta kami kepadamu.
Kami semakin pandai, namun kami tidak semakin bersujud. Kami semakin pintar, namun kami tidak semakin berislam. Kami semakin maju, namun kami tidak semakin beriman. Kami semakin beriman, namun kami tidak semakin berihsan. Sel-sel memuai. Dedaunan memuai. Pohon-pohon memuai. Namun kesadaran kami tidak. Cinta dan internalisasi ketuhanan kami tidak.
Kami masih primitif dalam hal akhlak—substansi utama ajaranmu. Padahal kami tak usah belajar soal akhlak karena tidak menjadi naluri manusia; berbeda dengan saudara kami kaum Jin yang ilmu tak usah belajar namun akhlak harus belajar. Akhlak kaum jin banyak yang lebih bagus dari kami.
Sebab kami masih bisa menjual iman dengan harga beberapa ribu rupiah. Kami bisa menggadaikan Islam seharga emblem nama dan segumpal kekuasaan. Kami bisa memperdagangkan nilai Tuhan seharga jabatan kecil yang masa berlakunya sangat sementara. Kami bisa memukul saudara kami sendiri, bisa menipu, meliciki, mencurangi, menindas, dan mengisap, hanya untuk beberapa lembar uang.
Padahal kami mengaku sebagai pengikutmu, Ya Muhammad. Padahal engkau adalah pekerja amat keras dibanding kepemalasan kami. Padahal engkau adalah negarawan agung dibanding ketikusan politik kami. Padahal engkau adalah ilmuwan ulung dibanding kepandaian semu kami. Padahal engkau adalah seniman anggun dibanding vulgar-nya kebudayaan kami.
Padahal engkau adalah pendekar mumpuni dibanding kepengecutan kami. Padahal engkau adalah strateg dahsyat dibanding berulang-ulangnya keterjebakan kami oleh sistem Abu Jahal kontemporer.
Padahal engkau adalah mujahid yang tak mengenal putus asa dibanding deretan kekalahan-kekalahan kami. Padahal engkau adalah pejuang yang sedemikian gagah perkasa terhadap godaan benda emas dibanding kekaguman tolol kami terhadap hal yang sama.
Padahal engkau adalah moralis kelas utama dibanding kemunafikan kami. Padahal engkau adalah panglima kehidupan yang tak terbandingkan dibanding keprajuritan dan keseradaduan kepribadian kami. Padahal engkau adalah pembebas kemanusiaan.
Padahal engkau adalah pembimbing kemuliaan. Padahal engkau adalah penyelamat kemanusiaan. Padahal engkau adalah organisator dan manajer yang penuh keunggulan dibanding ketidaktertataan keumatan kami.
Padahal engkau adalah manusia yang sukses menjadi nabi dan nabi yang sukses menjadi manusia, di hadapan kami. Padahal engkau adalah liberator budak-budak, sementara kami adalah budak-budak yang tak pernah merasa ,menyadari, dan tak pernah mengakui, bahwa kami adalah budak-budak.
Sementara kami adalah budak-budak—dalam sangat banyak konteks yang sudah berbincang tentang perbudakan, segera mencari kalimat-kalimat, retorika, dan nada yang sedemikian indahnya sehingga bisa membuat kami tidak lagi menyimpulkan bahwa kami adalah budak-budak.
Di negara kami ini, umatmu berjumlah terbanyak dari penduduknya. Di negeri ini, kami punya Muhammadiyah, punya NU, Persis, punya ulama-ulama dan MUI, ICMI, punya bank, punya HMI, PMII, IMM, Ashor, Pemuda Muhammadiyah, IPM, PII, pesantren-pesantren, sekolah-sekolah, kelompok-kelompok studi Islam intensif, yaysan-yayasan, mubalig-mubalig, budayawan, dan seniman, cendekiawan, dan apa saja.
Yang kami tak punya hanyalah kesediaan, keberanian, dan kerelaan yang sungguh-sungguh untuk mengikuti jejakmu.

Friday 30 December 2011

Tahun Baruku di Jalanan - Cak Nun



Gambar dipinjam dari  sini
Jika tahun baru tiba, aku mengurung diri di kamar, seharian, semalaman. Aku selalu takut keramaian, sebab dalam keramaian, manusia menari-nari di ombak nilai paling permukaan. Aku selalu sunyi dalam keriuhan, karena dalam keramaian, manusia hanya sekilas-kilas memandang satu sama lain. Keramaian adalah gembok amat rapat bagi ilmu pengetahuan dan kedalaman.
Pijakkan kaki didataran terjal dari tahun ke tahun dari tempatmu masing-masing, juga aku dari tempatku sendiri, tempat yg maaf__ku pilih sendiri.

Apa doa yg kau pilih? Aku mohon supaya Indonesia mulai menemukan akal sehatnya, semoga proses anti pembodohan dibantu oleh para Malaikat, semoga demokratisasi tidak terlalu tahayul, semoga para pemimpin Islam selamat dari atmosfer “shummumbukmun“, serta semoga semua manusia dan kelompok-kelompok manusia dibimbing menemukan “kebenaran yang sejati” dalam “ilallah” yang sesunguh-sungguhnya.

Gusti Allah, kami makhluk yang Engkau istimewakan, namun yang kami himpun adalah kebodohan. Tak sanggup kami temukan “laa ilaaha”  ketika berada di pasar, di kantor, di toko- toko, di bioskop, di mana sajan sehingga “ilallah” kami pun kacau balau. Gusti Allah, sampai hari ini pun belum kami masuki surah Al- Ikhlas-Mu dalam kehidupan sehari-hari, dalam politik, dalam kebudayaan, hukum, ekonomi, dan nurani. Kami ini manusia pra-Ibrahim.

Dengan hati berdebar ku masuki 1991, tahun “furqan“, tahun dikotomi, tahun polarisasi ekstrem antara kegelapan dan cahaya

Perkenankanlah aku memasuki “dunia puisi” (telah bertemu dengan-Mu kah rahasia puisi Qur’an di balik setiap hurufnya?). Sebab, buat sementara puisilah penjaga kejujuranku, obyektivitasku, kejernihan, dan kesejahteraanku.

Seribu Masjid Satu Jumlahnya - Cak Nun


Satu 
Masjid itu dua macamnya 
Satu ruh, lainnya badan 
Satu di atas tanah berdiri 
Lainnya bersemayam di hati

Tak boleh hilang salah satunyaa 
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu 
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu 
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu

Dua 
Masjid selalu dua macamnya 
Satu terbuat dari bata dan logam 
Lainnya tak terperi 
Karena sejati

Tiga 
Masjid batu bata 
Berdiri di mana-mana 
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya 
Timbul tenggelam antara ada dan tiada

Mungkin di hati kita 
Di dalam jiwa, di pusat sukma 
Membisikkannama Allah ta’ala 
Kita diajari mengenali-Nya

Di dalam masjid batu bata 
Kita melangkah, kemudian bersujud 
Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa 
Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna

Empat 
Sangat mahal biaya masjid badan 
Padahal temboknya berlumut karena hujan 
Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban 
Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan

Masjid badan gmpang binasa 
Matahari mengelupas warnanya 
Ketika datang badai, beterbangan gentingnya 
Oleh gempa ambruk dindingnya 
Masjid ruh mengabadi 
Pisau tak sanggup menikamnya 
Senapan tak bisa membidiknya 
Politik tak mampu memenjarakannya

Lima 
Masjid ruh kita baw ke mana-mana 
Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya 
Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota 
Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya

Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya 
Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala 
Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya 
Sebab majid ruh adalah semesta raya

Jika kita berumah di masjid ruh 
Tak kuasa para musuh melihat kita 
Jika kita terjun memasuki gengfaman-Nya 
Mereka menembak hanya bayangan kita

Enam 
Masjid itu dua macamnya 
Masjid badan berdiri kaku 
Tak bisa digenggam 
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan

Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita 
Melampaui ujung waktu nun di sana 
Terbang melintasi seribu alam seribu semesta 
Hinggap di keharibaan cinta-Nya

Tujuh 
Masjid itu dua macamnya 
Orang yang hanya punya masjid pertama 
Segera mati sebelum membusuk dagingnya 
Karena kiblatnya hanya batu berhala

Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua 
Berkeliaran sebagai ruh gentayangan 
Tidak memiliki tanah pijakan 
Sehingga kakinya gagal berjalan

Maka hanya bagi orang yang waspada 
Dua masjid menjadi satu jumlahnya 
Syariat dan hakikat 
Menyatu dalam tarikat ke makrifat

Delapan 
Bahkan seribu masjid, sjuta masjid 
Niscaya hanya satu belaka jumlahnya 
Sebab tujuh samudera gerakan sejarah 
Bergetar dalam satu ukhuwah islamiyah

Sesekali kita pertengkarkan soal bid’ah 
Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah 
Itu sekedar pertengkaran suami istri 
Untuk memperoleh kemesraan kembali

Para pemimpin saling bercuriga 
Kelompok satu mengafirkan lainnya 
Itu namanya belajar mendewasakan khilafah 
Sambil menggali penemuan model imamah

Sembilan 
Seribu masjid dibangun 
Seribu lainnya didirikan 
Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun 
Tagihan masa depan kita cicilkan

Seribu orang mendirikan satu masjid badan 
Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan 
Hadir engkau semua menyodorkan kawruh

Seribu masjid tumbuh dalam sejarah 
Bergetar menyatu sejumlah Allah 
Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan 
Melainkan dengan hikmah kepemimpinan

Allah itu mustahil kalah 
Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah 
Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah 
Muadzin kita selalu mengumandangkan Hayya ‘Alal Falah!

(EAN,1987)

Menangis - Cak Nun


   Sehabis   sesiangan   bekerja   di    sawah-sawah  serta  disegala  macam
   yang   diperlukan   oleh  desa  rintisan   yang  mereka  dirikan jauh  di
   pedalaman,    Abah   Latif   mengajak    para   santri   untuk   sesering
   mungkin  bersholat  malam.

   Senantiasa    lama    waktu   yang   diperlukan,   karena   setiap   kali
   memasuki   kalimat   "   iyyaka    na'budu "  Abah Latif  biasanya lantas
   terhenti      ucapannya,      menangis     tersedu-sedu      bagai     tak
   berpenghabisan.

   Sesudah   melalui  perjuangan   batin yang   amat  berat untuk  melampaui
   kata   itu,   Abah   Latif   akan   berlama-lama   lagi   macet  lidahnya
   mengucapkan  "  wa  iyyaka  nasta''in" .

   Banyak   di   antara   jamaah  yang   turut  menangis,  bahkan  terkadang
   ada  satu  dua  yang  lantas  ambruk  ke lantai   atau  meraung-raung.

   "Hidup   manusia   harus   berpijak,    sebagaimana  setiap  pohon  harus
   berakar,"   berkata  Abah Latif  seusai  wirid   bersama,  "  Mengucapkan
   kata-kata    itu    dalam    Al-fatihah   pun   harus   ada   akar   d  an
   pijakannya   yang  nyata  dalam   kehidupan.    'Harus'   di  situ  titik
   beratnya    bukan   sebagai   aturan,    melainkan   memang   demikianlah
   hakikat   alam,   di   mana   manusia    tak   bisa  berada  dan  berlaku
   selain  di  dalam hakikat  itu."

   "Astaghfirulloh,   astaghfirulloh..,"  gemeremang mulut  para  santri.

   "  Jadi,  anak-anakku,"  beliau  melanjutkan,   "  apa  akar  dan pijakan
   kita  dalam  mengucapkan  kepada  Alloh    ..iyyaka  na'budu?"

   "Bukankah tak  ada  salahnya  mengucapkan  sesuatu   yang  toh  baik  dan
   merupakan   bimbingan  Alloh   itu    sendiri,  Abah?"  bertanya  seorang
   santri.

   "Kita    tidak   boleh   mengucapkan   kata,  Nak,   kita   hanya   boleh
   mengucapkan kehidupan."

   "Belum  jelas  benar  bagiku,  Abah?"

   "   Kita   dilarang  mengucapkan kekosongan,   kita  hanya  diperkenankan
   mengucapkan  kenyataan."

   "Astaghfirulloh,   astaghfirulloh..,"  geremang mulut  para  santri.

   Dan   Abah   Latif   meneruskan,    "   Sekarang ini  kita  mungkin sudah
   pantas   mengucapkan     iyyaka   na'budu.KepadaMu  aku  menyembah.Tetapi
   kaum   Muslimin   masih belum  memiliki  suatu   kondisi  keumatan  untuk
   layak  berkata  kepadaMu  kami  menyembah,   na'budu."

   "Al-Fatihah   haruslah   mencerminkan  proses    dan  tahapan  pencapaian
   sejarah  kita   sebagai   diri   pribadi    serta  kita  sebagai  ummatan
   wahidah.Ketika   sampai  di kalimat  na'budu,   tingkat  yang harus  kita
   telah   capai   lebih   dari  abdullah, yakni khalifatulloh.Suatu  maqom
   yang   dipersyarati   oleh   kebersamaan   kamu  muslim  dalam  menyembah
   Alloh   di  mana   penyembahan   itu    diterjemahkan   ke  dalam  setiap
   bidang  kehidupan.Mengucapkan   iyyaka   na'budu   dalam  sholat mustilah
   memiliki  akar  dan pijakan  di  mana  kita kaum   muslim  telah  membawa
   urusan  rumah  tangga,  urusan perniagaan,  urusan   sosial  dan  politik
   serta  segala  urusan  lain  untuk  menyembah   hanya  kepada  Alloh.Maka
   anak-anakku,  betapa  mungkin dalam  keadaan kita  dewasa ini lidah kita
   tidak   kelu   dan  airmata   tak   bercucuran  tatkala  harus mengucapan
   kata-kata itu?"

   "Astaghfirulloh,   astaghfirulloh..,"  gemeremang   para  santri.

   "Al-fatihah    hanya  pantas   diucapkan   apabila  kita   telah   saling
   menjadi   khalifatulloh   di dalam  berbagai   hubungan  kehidupan.Tangis
   kita  akan   sungguh-sungguh   tak   tak    berpenghabisan  karena dengan
   mengucapkan  wa   iyyaka  nasta'in, kita  telah   secara  terang-terangan
   menipu   Tuhan.Kita   berbohong  kepada-Nya   berpuluh-puluh  kali  dalam
   sehari.Kita  nyatakan  bahwa   kita  meminta   pertolongan  hanya  kepada
   Alloh,   padahal    dalam    sangat    banyak  hal  kita   lebih   banyak
   bergantung   kepada  kekuatan,  kekuasaan   dan   mekanisme   yang   pada
   hakikatnya melawan Alloh."

   Astaghfirulloh,   astaghfirulloh..,"  geremang mulut   para  santri.

   "Anak-anakku,  pergilah   masuk  ke dalam   dirimu  sendiri,  telusurilah
   perbuatan-perbuatanmu   sendiri,   masuklah ke   urusan-urusan manusia di
   sekitarmu,     pergilah     ke      pasar,     ke     kantor-kantor,    ke
   panggung-panggung  dunia   yang   luas:    tekunilah,   temukanlah  salah
   benarnya  ucapan-ucapanku  kepadamu.Kemudian  peliharalah   kepekaan  dan
   kesanggupan    untuk    tetap     bisa   menangis.Karena   alhamdulillah,
   seandainya    sampai   akhir  hidup    kita  hanya  diperkenankan   untuk
   menangis   karena   keadaan-keadaan  itu  :   airmata  saja  pun  sanggup
   mengantarkan  kita  kepada-Nya."

(EAN,1987)

  Dari  :
   Seribu  Masjid  Satu Jumlahnya
   Tahajjud  cinta  seorang  hamba

Thursday 29 December 2011

A Tribute to Ibu...


Kalau aku merantau, lalu datang musim kemarau..
Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting

Hanya mata air,air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir...

Bila aku merantau..
Aku ingat sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
Lantaran hutangku padamu tak kuasa aku bayar

Ibu adalah gua pertapaanku
Dan ibulah yang meletakkan aku di sini
Saat bunga kembang menyerbak bau sayang 
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
Aku mengangguk meskipun kurang mengerti

Bila kasihmu ibarat samudra 
Sempit lautan teduh
Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
Lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku

Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan..!!
Namamu ibu..!!!, yang akan kusebut paling dahulu
Lantaran aku tahu
Engkau ibu dan aku anakmu..

Bila aku berlayar lalu datang angin sakal 
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal..

Ibulah itu , bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali datang padaku
Menyuruhku menulis langit biru 
dengan sajakku..

Puisi oleh : Bpk D. Zawawi Imron ( IBU)



Puisi Seadanya Tentang Kepala - Cak Nun

Puisi ini ditulis oleh penyairnya dengan bahasa yang diusahakan sangat seadanya, yang kira-kira bisa dipahami oleh setiap anak yang baru mengenal sejumlah kata-kata, sebab penyair itu merasa begitu ketakutan bahwa kematiannya akan menjadi sempurna jika ternyata tak seorangpun memahami kata-katanya.

Jangan salah sangka. Ia takut bukan karena kawatir akan kehilangan kepala, melainkan justru ia sangat mendambakan betapa bahagianya kalau pada suatu hari ia kehilangan kepala. Masalahnya - terus terang saja - kepala itu sudah bertengger di atas lehernya hampir tigapuluh tahun. Baginya ini merupakan beban yang teramat berat dan membuat ia merasa tidak normal. Karena teman-temannya yang normal pada umumnya hanya menyangga satu kepala paling lama lima tahun, bahkan ada yang hanya satu dua tahun, malah ada juga yang sesudah dua tiga bulan sudah berganti kepala.

Penyair kita ini sudah menghubungi Tuhan ribuan kali melalui salat, wirit dan tarikat, demi memperoleh kejelasan resmi mengenai keanehan ini. Bahkan sebelum itu sudah ia datangi beratus-ratus dukun, kiai dan kantor ikatan cendekiawan, namun tidak seorangpun sanggup memberinya jawaban yang memuaskan hati. Tuhan sendiri sepertinya terlalu bersabar menyimpan teka-teki ini, bahkan sesekali ia merasakan Tuhan seakan-akan bersikap ogah-ogahan terhadap masalah ini.

Matahari selalu terbit dan tetumbuhan tak pernah berhenti mengembang, tapi itu hanya menambah ketegasan perasaan penyair kita bahwa sesungguhnya yang berlangsung hanyalah kemandegan. Ayam berkokok tiap menjelang pagi, kemudian manusia bangun dan tidak melakukan apa-apa untuk mengubah kebosanan yang sedemikian merajalela. Alam semesta ini sendiri begitu patuh menggantikan siangnya dengan malam dan menggilirkan malamnya dengan siang, tapi manusia hanya sibuk memproduksi ungkapan yang berbeda untuk kenyataan yang sama, manusia habis waktu dan tenaganya untuk mengulangi kebodohan dan keterperosokan yang sama, meskipun mereka membungkusnya dengan perlambang-perlambang baru sambil ia meyakin-yakinkan dirinya atas perlambang itu.

"Ya, Allah", seru penyair kita ini pada suatu malam yang sunyi, "patahkan leherku agar kepalaku menggelinding ke dalam parit, kemudian persiapkan kepala yang baru yang bisa membuatku hidup kembali !".

Bisa dipastikan Tuhan mendengar doa itu, tetapi siapa yang menjamin bahwa Ia bakal mengabulkannya? Bukankah penyair itu sendiri yang dulu meminta kepalanya yang ini untuk menggantikan kepala yang sebelumnya. Apa jawab penyair kita ini seandainya Tuhan mengucapkan argumentasi begini : "Bagaimana mungkin kuganti kepalamu, sedangkan kepala-kepala lain di tanganKu belum punya pengalaman sama sekali untuk bertindak sebagai kepala ? Bukankah untuk menjadi kepala, segumpal kepala harus memiliki pengalaman sebagai kepala sekurang-kurangnya lima tahun ?".

Penyair kita sangat-sangat menyesal kenapa makhluk Tuhan harus hidup dengan syarat mempunyai kepala. Pada mulanya ia hanya badan saja, badan bulat yang seluruh sisi-sisinya sama. Tapi kemudian karena ia kawatir akan disangka sederajat dengan buah kelapa, maka ia memohon kepada Tuhan serta mengupayakan sendiri pengadaan kepala, lantas kaki dan tangan.

Tetapi ternyata inilah sumber utama malapetaka hidupnya. Pada mulanya kepala itu berendah hati dan patuh kepadanya, karena pada dasarnya kepala itu memang tidak pernah ada seandainya ia tidak meminta kepada Tuhan dan mengadakannya.

Kesalahan pertama yang dilakukan oleh penyair ini adalah meletakkan kepala di bagian atas dari badannya, sehingga badannya itu dengan sendirinya kalah tinggi dibanding kepalanya, dan dengan demikian menjadi bawahannya. Hari-haripun berlalu, sampai pada suatu saat ia menyadari bahwa sang kepala ternyata telah mengambil alih hampir semua perannya. Misalnya soal berpikir, sekarang telah dimonopoli oleh kepala. Apa yang harus ia lakukan, kemana harus melangkah, apa yang boleh dan tidak boleh, ditentukan oleh kepala. Ia sendiri dilarang berpikir karena segala gagasan telah disediakan oleh kepala, sedemikian rupa sehingga ia bukan saja tak boleh berpikir, tapi lama kelamaan ia juga menjadi tidak mampu lagi berpikir.

Dulu ia membayangkan, tangan akan menggenggam fulpen atau senapan, jari-jari hendak mengelupas buah nanas atau menyogoki lubang hidung, dialah yang berhak menentukan. Tapi ternyata ketika ada makanan, yang memerintahkan tangan untuk mengambilnya adalah kepala, kemudia diberikannya kepada mulut yang menjadi aparat sang kepala, sedangkan badannya hanya menampung makanan itu, tanpa ikut mengunyah dan merasakan nikmatnya.

Juga ia yakin bahwa apakah kakinya akan melompati sungai atau dipakai untuk menjungkir badan, dialah yang merancang dan memutuskannya. Tapi sekarang segala sesuatunya menjadi jelas bahwa hak itu telah diambil alih oleh kepala, dan ketik` ia mempertanyakan hal itu, tiba-tiba saja tangannya yang memegang pentungan menggebugnya, dan kakinya yang bersatu tebal keras menendangnya.

"Wahai Tuhan, pengasuh badan yang menderita", guman penyair kita dengan nada yang penuh kecengengan, "jikapun tanganMu terlalu suci sehingga jijik untuk berurusan dengan segala yang kotor dalam kehidupan hamba-hambaMu, tolonglah Engkau berkorban sekali ini saja, sentuhlah kepalaku, pegang ia dan cabut dariku, kemudian kuusulkan langsung saja dirikanlah kerajaanMu dan Engkau sajalah yang mulai sekarang bertindak sebagai kepalaku".

Monday 26 December 2011

Berdzikir Hamba-Ku, Berdzikir! - Cak Nun

Kalian berdzikir "Subhanallah"
Maha Suci Allah, Maha Suci Allah
Apa benar kalian mensucikan Aku?
Apa benar kehidupan kalian mensucikan Aku?
Apa benar watak dan perilaku kalian, kebudayaan dan kemajuan bangsa kalian - mensucikan Aku?

Kalian berdzikir "Alhamdulillah"
Segala puji bagi Allah, Segala puji bagi Allah
Apa benar perekonomian kalian memuji Aku?
Apa benar gedung-gedung kalian, kantor-kantor kalian, pertimbangan dan keputusan kalian, kasih dan sepak terjang kalian - memuji Aku?

Kalian berdzikir "Wa lailaha illallah",
Tiada tuhan selain Allah
Hai hamba-Ku, apa benar Akulah yang kalian tuhankan?
Apa benar Aku faktor primer dalam bagan strategi sejarah kalian?
Apa benar Aku yang nomor satu di dalam kerangka akal dan susunan pikiran kalian
Apa benar cinta kalian mendasar kepadaKu?
Apa benar Aku sedang menarik hati kalian, dibanding uang, keuntungan dan kekuasaan dunia?

Kalau Aku ikut Kontes Idola, apakah kalian kirim sms untuk memenangkan Aku?
Kalian berdzikir "Allahu Akbar"
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
Wahai hamba-Ku, apa tanda kebesaranKu di negeri penyembah berhala yang kalian bangga-banggakan ini?
Di bagian mana dari kebudayaanmu,
Di sebelah mana dari langkah politikmu
Di sudut mana dari gedung-gedung megah industrimu
Yang mencerminkan keunggulanKu?

Kau lakukan kedhaliman di sana-sini
Merata di seantero negeri
Kedhaliman yang samar sampai yang transparan
Kedhaliman struktural, sistemik
Bahkan kedhaliman yang telanjang dan kasat mata
Kedhaliman bahkan kepada dzatKu
Kepada hakekat dan syariat eksistensiKu
Kemudian kalian ucapkan "Allahu Akbar"
Tanpa sedikitpun rasa malu

Bahkan masjid-masjidmu, yakni rumah-rumah suciKu
Kalian pakai untuk menendangku
Sebagian dari kalian membangun rumahKu dengan sisa-sisa uang perampokan struktural
Sebagian dari kalian menegakkan rumahKu dengan biaya hasil mengemis-ngemis di tengah jalan

Kalian mengemis atas namaKu,
Kalian melantikku sebagai Sang Maha Pengemis
Di masjid-masjid kalian tertulis : Allah yang Maha Fakir Miskin.
Oleh karena itu setiap orang perlu menaruh rasa belas kasihan kepadaKu
Dan jika datang seorang koruptor membereskan semua pembiayaan masjid itu,
dialah yang kau puji-puji dan kau sanjung-sanjung



Emha Ainun Nadjib

Do'a Pesakitan - Cak Nun


GUSTI,

seperti kapan saja
kami para hamba
tak berada di mana-mana
melainkan di hadapan Mu jua
ini sangat sederhana
tetapi kami sering lupa
sebab mengalahkan musuh-musuh Mu
yang kecil saja, kami tak kuasa

GUSTI,
inilah tawanan Mu
tak berani menengadahkan muka
mripat kami yang terbuka
telah lama menjadi buta
sebab menyia-nyiakan dirinya
dengan hanya menatap hal-hal maya

GUSTI,
cinta kami kepada Mu tak terperi
namun itu tak diketahui
oleh diri kami sendiri
maka tolong ajarilah kami
agar sanggup mengajari diri sendiri
menyebut nama Mu seribu kali sehari
karena meski hanya sehuruf saja dari Mu
takkan tertandingi

GUSTI,
kami berkumpul disini
untuk mengukur keterbatasan kami
melontarkan beratus beribu kata
seperti buih-buih
melayang-layang di udara
diisap kembali oleh Maha Telinga
sehingga tinggal jiwa kami termangu
menunggu ishlah dari Mu
agar jadi bening dan tahu malu

GUSTI,
kami pasrah sepasrah-pasrahnya
kami telanjang setelanjang-telanjangnya
kami syukuri apapun
sebab rahasia Mu agung
tak ada apa-apa yang penting
dalam hidup yang cuma sejenak ini
kecuali berlomba lari
untuk melihat telapak kaki siapa
yang paling dulu menginjak
halaman rumah Mu

GUSTI,
lihatlah
mulut kami fasih
otak kami secerdik setan
jiwa kami luwes
bersujud bagai para malaikat Mu
namun saksikan
adakah hidup kami mampu begitu ?
langkah kami yang mantap dan dungu
hasil-hasil kerja kami yang gagah dan semu
arah mata kami yang bingung dan tertipu
akan sanggupkah melunasi hutang kami
kepada kasih cinta penciptaan Mu ?

GUSTI,
masa depan kami sendiri kami bakar
namun Engkau betapa amat sabar
peradaban kami semakin hina
namun betapa Engkau bijaksana
kelakuan kami semakin nakal
namun kebesaran Mu maha kekal
nafsu kami semakin rakus
tapi betapa rahmat Mu tak putus-putus
kemanusiaan kami semakin dangkal
sehingga Engkau menjadi terlampau mahal

GUSTI,
kamilah pesakitan
di penjara yang kami bangun sendiri
kamilah narapidana
yang tak berwajah lagi
kaki dan tangan ini
kami ikat sendiri
maka hukumlah dan ampuni kami
dan jangan biarkan terlalu lama menanti


EMHA AINUN NAJIB - 1991

Saturday 24 December 2011

Info Job Fair/ Bursa Kerja 13-14 Januari 2012, Gd Smesco Jl Gatot Subroto JAKARTA


Daftar Perusahaan yang berpartisipasi untuk sementara antara lain:

PT. DJARUM
BANK OCBC NISP
BANK EKONOMI
PT JAYA KONSTRUKSI
PT JAYA TRADE INDONESIA .
ARTAJASA PEMBAYARAN ELEKTRONIS
ASTRA CREDIT COMPANIES
ORANG TUA GROUP
KAWAN LAMA
PT MAYORA INDAH
PT GRIYA MIE SEJATI
PT SUPERTONE - SPC MOBILE
BLUE BIRD GROUP
AXA FINANCIAL MANDIRI
ADIRA QUANTUM MULTIFINANCE
PT ZURICH
PT BHINNEKA MENTARI DIMENSI
PT ASTRIDO JAYA MOBILINDO
PT ASTRINDO SENAYASA
AJ BRINGIN JIWA SEJAHTERA
BNI LIFE INSURANCE
SERASI OUTORAYA-TRAC ASTRA
AJ MEGA LIFE
TARRA GROUP)
PT PIONEERINDO GOURMENT INTERNATIONAL, Tbk
WALLSTREET INSTITUTE
PT AIA FINANCIAL
ASTRA INTERNATIONAL – AUTO 2000
PT CENTURY FRANCHISINDO UTAMA
PT JADDI FOOD
PT INTAN BARUPRANA FINANCE

INFO LANJUT HUB: 085727371313 - 085275349117

Potret Halaman Rumahku, Dalam Kata-Kata


Hari hujan,
Selapis kabut mendesak turun..
Cahaya temaram

Serumpun bayam di halaman
Bergoyang, diiring melodi air di atas daun-daun
Senja mengelam

Kuncup bermekaran
Berganti tahun demi tahun
Kenangan memburam

Tulungagung, 23 Desember 2011

Oh, Nasibmu Petani...


Berkesempatan mencicipi perjuanganmu sekali lagi.
Di bawah terik mentari, menuai asa menanam derita
Pak Tani, tanpa kami sadari..
Tetesan peluhmu adalah makanan kami sehari-hari

Pak Tani..
Ujung tombak perekonomian negeri..
Tapi aduh, nasibnya sendiri ada di ujung tanduk.. ih ngeri..
Makanya, silahkan tanya anak-anak SD,
Kalau besar cita-citanya mau jadi apa dik??
Tentu saja, takkan ada yang menjawab mau jadi petani..

Andai saja Pak Presiden, Bapak Menteri, Para anggota dewan perwakilan rakyat mau mencoba bertani... Biar mereka paham dan mengerti, bukan hanya sekedar teori... apa yang dibutuhkan, apa yang dikeluhkan, apa permasalahan utama yang menyebabkan pertanian kita tak maju-maju.. mengapa petani selalu identik dengan KEMISKINAN dan KETIDAKMAKMURAN?? Lalu cari solusi dan jalankan, sistem mana yang salah dalam mata rantai bercocoktanam kita? Masak iya rakyatnya  menderita kok dibiarkan saja..

Andai saja.. mereka mengerti, dan tidak memperkaya diri sendiri..
Dan lebih memperhatikan nasib petani
Andai saja mereka agak pinter sedikit saja...
Negeri ini tak akan lagi jadi negeri peminta-minta..
Suer deh....!!