Tuesday, 18 October 2011

Kidung Persembahan Gitanyali - Rabindranath Tagore





1

Engkau membuatku abadi, begitulah kesenanganku. Bumbung yang rapuh ini engkau kosongi lagi dan lagi, lalu engkau isi dengan kehidupan baru.

Seruling bambu kecil ini engkau gemakan ke segenap penjuru bukit dan lembah, meniupkan melodi-melodi yang selalu baru.

Hatiku yang kecil mabuk kebahagiaan merasakan sentuhan abadi kedua tanganmu dan mulutku mengucapkan kata-kata ketakterhinggaan.

Anugerahmu yang takterbatas tercurah padaku hanya dapat kuterima dengan kedua tanganku yang kecil ini. Waktu ke waktu telah berlalu, engkau masih tetap
mencurahkan, dan di sini selalu masih ada bumbung yang dapat diisi.

2

Kala engkau memerintahkan aku berkidung, hatiku seakan pecah oleh rasa bangga; lalu kutatap wajahmu, dan airmata menggenangi mataku.

Semua yang kasar dan timpang dalam hidupku lebur ke dalam harmoni yang indah dan puja-ku membentangkan sayap-sayap bagai seekor burung yang terbang penuh keceriaan melintasi samudera raya.

Aku tahu engkau senang pada kidungku. Aku tahu hanya sebagai penyanyi aku sampai di hadiratmu.

Dengan ujung sayap kidungku yang membentang kusentuh kakimu yang tak pernah kuimpikan dapat kugapai.

Mabuk dalam suka cita berkidung aku lupa diri dan memanggilmu sahabat engkau yang adalah tuanku.

3

Aku tak tahu bagaimana engkau berkidung, duhai tuanku! Aku pernah mendengarnya dalam ketakjuban yang hening.

Kemilau kidungmu menerangi dunia, Nafas kehidupan dari kidung-mu berhembus dari langit ke langit. Alunan kidung sucimu menembus segala penghalang dan terus mengalir deras.

Begitu rindunya hatiku dalam kidungmu, namun aku gagal mengeluarkan suara. Aku hendak berucap, tetapi ucapanku tidak mampu menembus kidung itu, dan aku menjerit pilu. Ah, engkau telah membuat hatiku terjerat dalam jala-jala musikmu yang tak berujung, tuanku!

4

Kehidupan dari kehidupanku, aku akan selalu menjaga kemurnian tubuhku, karena kutahu sentuhanmu yang hidup merayapi sekujur tubuhku.

Aku akan selalu menjauhkan segala ketidakbenaran dari pikiranku, karena kutahu engkaulah kebenaran itu yang menyalakan terang budi dalam jiwaku.

Aku akan selalu menghalau kejahatan dari hatiku dan memelihara cintaku selalu mekar bagai bunga, karena kutahu engkau bertempat di bilik suci relung hatiku yang paling dalam.

Dan aku berjuang keras menyingkapkanmu dalam setiap tindakanku, karena kutahu kuasamu memberiku kekuatan untuk bertindak.

5

Kumohon aku dapat duduk khidmat sejenak di sampingku. Segala tugas di tanganku akan aku selesaikan setelah itu.

Jauh dari pandangan wajahmu hatiku tak punya tempat kerja keras yang tak berkesudahan di tengah samudera pekerjaan yang tak bertepi.

Hari ini musim panas menghampiri jendelaku dengan desah dan gumam; dan kawanan lebah asyik mendendangkan tembang kelananya di hamparan semak belukar yang sedang berbunga.

Sekarang saatnya duduk dalam diam, berhadap-hadapan denganmu, melantunkan kidung kehidupan dalam keheningan dan waktu yang melimpah ini.

6

Petiklah kembang kecil ini dan ambillah, jangan tunda lagi! Aku takut ia kan terkulai dan gugur ke atas debu.

Barangkali ia tak dapat tempat di kalung bungamu, tetapi berilah ia kehormatan denngan satu sentuhan rasa sakit dari tanganmu dan petiklah. Aku takut hari akan berakhirsebelum aku sadar, dan waktu persembahan sudah lewat.

Meskipun warnanya tidak cemerlang dan wanginya tidak semerbak, pakailah bunga ini dalam pelayananmu dan petiklah ia selagi waktu masih ada.

7

Kidungku telah menanggalkan perhiasan-perhiasannya. Ia tidak memiliki kebanggaan dengan pakaian dan segala hiasan. Perhiasan-perhiasan hanya akan merusak kesatuan kita; hanya akan menjadi penghalang antara aku dan engkau; dan gemerincingnya akan membuat bisikanmu tak terdengar.

Ego kepenyairanku lenyap dalam rasa malu di hadapanmu. Oh penyair agung, aku bersimpuh di kakimu. Kumohon biarkan aku membuat hidupku sederhana dan lurus, bagai sepotong seruling bambu yang akan engkau isi dengan musik.

8

Anak kecil yang dikerudungi jubah pangeran dan lehernya dikalungi rangkaian permata hanya akan kehilangan segala kesenangan dalam bermain; jubah itu menjadi penghalang setiap ia melangkah.

Takut jubahnya koyak, atau berdebu ia menjauhkan diri dari dunia, bahkan bergerak pun ia takut.

Bunda, betapa ruginya, belenggu jubah mewah milikmu itu, jika hanya menjauhkannya dari debu tanah yang menyehatkan, jika hanya merampas haknya memasuki kerumunan agung kehidupan manusia.


9

O bodohnya, mencoba memikul diri di atas bahumu sendiri! O gelandangan, datang mengemis di depan pintumu sendiri!

Lepaskan semua bebanmu ke tangan dia yang dapat memikul semua itu, dan takkan pernah menoleh ke belakang dengan menyesal.

Hasratmu segera akan memadamkan cahaya lampu yang tersentuh nafasnya. Najis- jangan ambil pemberian dari tangan-tangan kotornya. Terimalah hanya yang dipersembahkan dngan cinta suci.


10

Inilah bangku alas kakimu dan di sinilah kakimu menapak, di tempat kaum papa, yang terendah dan mereka yang kalah.

Kala aku mencoba bersujud padamu, ketaatanku tak mampu menyentuh kedalaman tempat kakimu menapak dan terletak begitu dalam di antara kaum papa, yang terendah dan mereka yang kalah.
Kebanggaan takkan pernah dapat mendekat ke tempat di mana engkau melangkah dengan jubah lusuh dui antara kaum papa, yang terindah dan mereka yang kalah.

Hatiku tak akan pernah mampu menemukan jalannya ke tempat engkau menjalin persahabatan dengan kaum papa, yang terendah dan mereka yang kalah.



11

Tinggalkan segala puja, kidung dan mantera tasbih! Siapakah yang engkau sembah di kuil yang gelap dan sunyi dengan pintu-pintu yang tertutup ini? Bukalah matamu dan lihatlah Tuhan tak ada di hadapanmu!

Ia ada di sana; di tempat petani membajak tanah yang gersang, di tempat pembuat jalan memecah bebatuan. Ia bersama-sama mereka di bawah terik matahari dan guyuran hujan, jubahnya berlumur debu. Tanggalkan jubah sucimu dan jadilah seperti dia, turunlah ke tanah berdebu!

Kebebasan? Di manakh kebebasan dapat ditemukan? Tuan kita sendiri begitu gembira mengenakan ikatan ciptaan; ia terikat dengan kita semua selamanya.

Keluarlah dari meditasimu dan tinggalkan segala bunga dan dupamu! Apa ruginya jika pakaianmu menjadi buruk dan lusuh? Hampirilah ia dan berdirilah di sisinya ikut bekerja keras dan mengalirkan keringat.

12

Lama waktu bagi perjalananku dan jauh jarak yang kutempuh.

Aku berangkat dengan kereta saat pendar cahaya pagi muncul pertama kali, kupacu perjalananku menerobos belantara dunia kutinggalkan jejakku bertaburan pada bintang dan planet-planet.

Jarak yang terjauh adalah rentang yang terdekat kepadamu, dan hanya gemblengan paling berat akan membuat mampu menyuarakan kesederhanaan sebuah nada.

Sang pengembara harus mengetuk setiap pintu-pintu asing untuk sampai ke pintunya sendiri, dan orang harus berkelana menjelajahi dunia-dunia luar untuk akhirnya tiba di bilik suci dalam dirinya sendiri.

Mataku terawang menjauh dan meluas sebelum keduanya kututupkan dan berkata “Engkau ada di sini!”

Tanya dan jeritan “Oh, dimanakah?” lebur ke dalam seribu aliran airmata dan menggenangi dunia dengan luapan kepastian “Aku ada!”


13

Kidung yang telah kugubah belum pernah disenandungkan hingga hari ini.

Aku telah menghabiskan hari-hariku memasang dan melepaskan dawai-dawai alat musikku.

Waktu belum juga datang, syair belum lagi terakit; hanya ada hasrat yang pilu di hatiku.

Kelopak-kelopak belum lagi merekah; hanya angin terdengar mendesah.

Aku belum melihat wajahnya, juga belum mendengar suaranya; hanya langkah-langkah gagah terdengar melintas di jalan depan rumahku.

Hari yang panjang kulewatkan untuk membentangkan tempat duduknya di atas lantai; tetapi lentera belum dinyalakan dan aku tak dapat memintanya masuk ke rumahku. Aku hidup dalam harapan bertemu dengannya; namun pertemuan belum terjadi.

14

Hasratku menggebu dan tangisku pilu, namun engkau selalu menyelamatkan aku lewat penolakan-penolakan yang keras; dan ampunan ini telah ditempakan ke dalam kehidupanku selalu dan selalu.

Hari demi hari engkau menjadikan aku mulia dalam kesederhanaan, anugerah agung yang kau berikan padaku tanpa kuminta langit dan cahaya ini, tubuh dan kehidupan serta jiwa menyelamatkan aku dari ancaman hasrat yang berlebihan.

Ada waktunya kala aku lamban tak bertenaga dan ada saatnya kala aku bangkit dan bergegas mencari tujuanku, namun dengan bengis engkau sembunyikan dirimu dari hadapanku.

Hari demi hari engkau menempaku menjadi mullia dalam penerimaanmu sepenuhnya melalui penolakanmu yang terus menerus dan seketika, menyelamatkan aku dari bahaya sifat lemah dan hasrat yang tanpa arah.

15

Aku ada di sini melantunkan kidung-kidung untukmu. Di pendapa milikmu ini aku mendapat tempat tinggal.

Di duniamu tak ada pekerjaan yang dapat kulakukan; hidupku yang tak berguna ini hanya dapat dipecah dengan nada-nada tanpa tujuan.
Ketika waktu terhenti oleh ibadatmu yang hening di kegelapan kuil tepat tengah malam, perintahkanlah aku, tuanku, berdiri di hadapanmu untuk berkidung.

Kala di udara pagi harpa emas dilantunkan, berilah aku kehormatan, perintahkanlah aku hadir.


16

Aku telah mendapat undangan mengikuti perayaan dunia ini, dan karenanya hidupku telah diberkati. Mataku telah melihat dan telingaku telah mendengar.

Adalah tugasku memainkan alat musik di perjamuan ini. Dan itu aku telah melakukan semampuku.

Kini, aku bertanya, sudah tibakah waktunya kala aku boleh pergi untuk melihat wajahmu dan mempersembahkan puja yang hening kepadamu?


17

Hanya cinta yang sedang kutunggu agar akhirnya dapat kuserahkan diriku ke dalam tangannya. Karena itulah mengapa begitu terlambat dan mengapa aku dipersalahkan.

Mereka datang bersama hukum-hukum dan undang-undangan untuk mengikatku erat-erat; tetapi aku selalu menghindar, karena hanya cinta yang sedang kutunggu agar akhirnya dapat kuserahkan diriku ke dalam tangannya.

Orang banyak menyalahkan aku dan menyebutku tak peduli; dan aku tidak ragu mereka benar dalam hal itu.

Hari perayaan telah usai dan kerja yang menyibukkan telah berakhir. Mereka yang menyebutku gagal telah pulang kembali dalam kemarahan. Tapi hanya cinta yang sedang kutunggu agar akhirnya dapat kuserahkan diriku ke dalam tangannya.



18

Mendung datang berlapis-lapis dan langit menjadi gelap. Ah, kekasih, mengapa engkau biarkan aku sendirian menunggu di depan pintu?

Di saat-saat sibuk bekerja di siang hari aku bersama-sama orang banyak, tapi bila hari gelap dan sepi seperti ini hanya bersamamu aku berharap.

Jika engkau tak memperlihatkan wajahmu, jika engkau benar-benar tak mau menemuiku, aku tak tahu bagaimana melewati malam yang panjang dan hujan ini.

Aku terus menatap kegelapan yang jauh di angkasa, dan hatiku meratap bersama angin yang bertiup tanpa henti.


19

Bila engkau tak hendak berkata akan kuisi hatiku dengan keheninganmu dan merengkuhnya. Aku akan tetap diam dan menunggu seperti malam denngan bintang-bintangnya terus menatap dan menundukkan kepala dengan sabar.

Pagi pasti datang, kegelapan akan hilang, dan suaramu akan mengalun bertaburan dalam gelombang-gelombang emas melintasi angkasa.

Lalu kata-katamu akan bersayapkan senandung yang terbang dari sarang-sarangku, dan melodi-melodimu akan merekah lewat bunga-bunga di padang rumputku.


20

Pada hari kala tangkai teratai mekar, aduh, jiwaku melesat terbang dan aku tak dapat menyaksikannya. Keranjangku sudah kosong dan bunga itu tetap tak dapat kutemukan.

Kadang hanya kesedihan yang kurasakan, dan aku terjaga dari mimpiku lalu kurasakan bekas semerbak wangi yang aneh ditiupkan angin selatan.

Keharuman yang sekilas itu membuat hatiku terasa nyeri oleh kerinduan dan tampak padaku bahwa ia adalah keharuman menggoda dari sisa-sisa musim panas yang segera pergi.

Kala itu aku tak pernah tahu bahwa ia begitu dekat, bahwa ia itu milikku, dan bahwa keindahan sempurna ini telah mekar di kedalaman hatiku sendiri.


21

Aku harus mulai melayarkan kapalku. Saat-saat yang membosankan berlalu di pantai- aduh diriku!

Musim semi setelah selesai memekarkan bunga-bunga ia pergi. Dan kini dengan sambil membawa bunga-bunga layu dan pudar aku menunggu dan termangu.

Ombak-ombak menjadi gaduh, dan di pantai yang berpohon-pohon rindang, daun-daun kuning menggelepar dan gugur ke atas bumi.

Kekosongan apa yang kini kau pandang! Tidakkah engkau rasakan getaran yang sedang melintas udara bersama nada-nada lagu nun jauh di sana mengalun dari pantai yang lain?


22

Di pekatnya kegelapan bulan Juli yang penuh hujan, dengan langkah-langkah rahasia, engkau berjalan, lenggang seperti malam, menghindar dari pandangan.

Hari ini pagi telah mengatupkan kedua matanya, tak mengacuhkan seruan angin timur yang nyaring mendesau, dan selubung tipis telah dibetangkan di atas langit biru selalu terjaga.

Hutan-hutan telah menghentikan nyanyiannya, dan pintu-pintu telah ditutup di setiap rumah. Engkau pengembara yang sendirian menapaki jalan yang telah ditinggalka. O sahabatku satu-satunya, kekasihku yang tercinta, gerbang rumahku terbuka untukmu- janganlah berlalu bagaikan mimpi.


23

Apakah engkau keluare rumah sedang dalam perjalanan cintamu di malam yang disatroni badai ini, sahabatku? Langit merintih seperti orang yang sedang berputus asa,

Aku tak bisa tidur malam ini. Selalu dan lagi kubuka pintu dan melempar pandang kepada kegelapan, sahabatku!

Aku tak bisa melihat apa pun di depanku. Aku bertanya-tanya di manakah letak jalanmu!

Apakah lewat tepian samar-samar dari sungai sepekat- tinta hitam, apakah lewat tepian jauh dari hutan yang lebat, ataukah lewat lembah kegelapan membingungkan engkau melintasi jalanmu datang ke sini, sahabatku?

24

Bila siang telah berlalu, jika burung-burung tak lagi berkicau, jika angin telah lunglai kelelahan, maka tirai kegelapan tang tebal dibetangkan padaku, seperti ketika engkau menyelimuti bumi dengan selimut tidur dan dengan lembut menutupkan kelopak-kelopak bunga teratai yang terkulai kala senja.

Dan sang pengembara, yang kantung bekalnya telah kosong sebelum perjalanan berakgir, yang pakaiannya compang-camping dan lusuh oleh debu, yang tenaganya telah terkuras, hilangkan rasa malu dan kemiskinan, dan barukanlah hidupnya seperti sekuntum bunga di bawah selubung malammu yang ramah.

25

Di malam yang melelahkan biarkan kuserahkan diri pasrah kepada tidur, mempercayakan penjagaanku padamu.

Izinkan aku tak memaksa ruhku yang sedang lesu untuk memujamu dengan persiapan yang mengenaskan.

Engkaulah yang membentangkan tirai malam ke atas cahaya siang yang lelah untuk memulihkan kembali pandangannya menjadi kegembiraan yang lebih segar kala ia terjaga kembali.


26

Ia datang dan duduk disampingku tetapi aku tak terbangun. Alangkah terkutuknya tidur itu. O sedihnya aku!

Ia datang kala malam larut; sambil menyandang harpa di tangannya, lalu mimpi-mimpiku mengalun bersama melodi-melodinya.

Aduh, mengapa malam-malamku hilang! Ah, mengapa aku selalu rindu tatapan dia yang nafasnya membelai tidurku?

27

Cahaya oh dimanakah cahaya? Nyalakan ia dengan kobaran hasrat membara!

Ada lentera tatapi tak pernah menyala, seperti nasibmu, hatiku! Oh, kematian jauh lebih baik bagimu!

Kesengsaraan mengetuk di pintumu, dan ia berpesan bahwa tuanmu selalu terjaga, dan ia memanggilmu untuk pertemuan cinta melalui kepekatan malam.

Langit tersaput mendung dan hujan turun tiada henti. Tak tahu aku apa yang sedang mengejolak di hatiku, tak tahu aku apa maknanya.

Kelebat cahaya kilat menyeret pandanganku masuk kegelapan makin dalam, dan hatiku mencari-cari jejak kemana musik malam memanggilku.

Cahaya, oh dimanakah cahaya! Nyalakan ia dengan kobaran hasrat membara! Ia bergemuruh dan angin yang melucur menderu menerobos kekosongan.

Malam gelap gulita sebongkah batu hitam. Jangan biarkan saat demi saat berlalu dalam kegelapan. Nyalakan lentera cinta dengan gairah hidupmu.


28

Keras kepala jadi penghalang, namun hatiku nyeri kala kucoba merontokkannya.

Kebebasanlah yang paling kudambakan, namun mengharapkannya membuatku merasa malu.

Aku tak ragu bahwa kekayaan yang tak ternilai ada padamu, dan engkaulah sahabat terbaikku, namun aku tak sampai hati membuang timah-timah yang memenuhi kamarku. Selubung yang membalutku adalah selubung debu dan kematian; aku membencinya, namun kudekap ia dalam cinta.

Dosa-dosaku banyak, kegagalanku besar, aibku rahasia dan teramat menyiksa; namun kala aku datang untuk memohon nasib baikku, aku menggigil ketakutan kalau-kalau doaku dikabulkan.


29

Dia yang kulindungi dengan namaku tengah berduka dalam sel bawah tanah ini. Aku selalu sibuk membangun benteng ini di sekelilingnya; dan kala benteng ini makin menjulang ke langit, karena tertutup bayangannya yang gelap.

Aku bangga dengan benteng besar ini, kulapisi ia dengan debu dan pasir jangan sampai sebuah lobang yang sangat kecil tertinggal dalam nama ini, dan karena rapatnya aku tak lagi melihat wujudku yang sejati.


30

Aku keluar sendirian berjalan menuju tempat pertemuan yang sudah dinjanjikan. Tetapi siapakah gerangan yang kini mengikutiku dalam kebisuan kegelapan?

Aku bergerak menyisih menghindarkannya tapi aku tak kuasa menghindar darinya.

Ia bangkitkan debu dari tanah denngan langkah-langkahnya yang angkuh, ia tambahkan suara kerasnya pada setiap kata yang aku ucapkan.

Ia adalah diri kecilku sendiri, tuanku, ia tak tahu malu, tetapi aku malu datang ke pintumu bersamanya.

31

“Tahanan, katakan padaku, siapakah orang yang memenjarakanmu?”

“Dia adalah tuanku,” jawab sang tahanan. “Aku kira aku dapat mengungguli setiap orang di dunia ini dalam kekayaan dan kekuasaan, kutimbun uang untuk rajaku di gudang hartaku sendiri. Kala aku terlelap aku tidur di rajang tuanku, dan ketika terbangun kudapati diriku telah menjadi tahanan yang dipenjara di gudang hartaku.”

“Tahanan, katakan padaku siapakah orang yang menempa borgol yang tak terputuskan ini?”

“Aku” jawab sang tahanan. “Akulah yang menenpanya dengan cermat. Aku kira kekuatanku yang tak terkalahkan akan dapat menaklukkan dunia dan membuat aku menikmati kebebasan tanpa gangguan. Demikianlah siang malam kutempa borgol itu dengan api yang berkobar-kobar dengan pukulan-pukulan yang sangat keras mendetam. Kala pekerjaan itu akhirnya usai dan rantai-rantainya sudah lengkap dan tak terputuskan, kudapati aku menjepit diriku sendiri dalam cengkeramannya”.


32

Dengan segala upaya mereka yang mencintaiku mencoba menahanku agar aku merasa tenteram di dunia ini. Tetapi lain dengan cintamu yang lebih agung dari cinta mereka, dan engkau membiarkanku bebas.

Agar tidak melupakan mereka maka mereka tak pernah berani membiarkan aku sendirian. Tetapi hari demi hari berlalu dan engkau tidak juga kelihata.

Seadndainya engkau tak kuseru dalam doa-doaku, meskipun tak kusimpan engkau dalam hatiku, cintamu padaku masih tetap menubggu cintaku.


33

Kala hari telah siang mereka mendatangi rumahku dan berkata, “Kami hanya akan menempati kamarmu yang terkecil di sini.”

Kata mereka, “Kami akan membantumu memuja Tuhan dan hanya menerima rahmatnya yang diperuntukan bagi kami,” kemudian mereka mengambil tempat di sebuah sudut lalu mereka duduk diam dan tunduk.

Tetapi dalam kegelapan malam kupergoki mereka mendobrak masuk ke dalam tempat suciku yang keramat, dengan paksa dan kejam serta merampas dengan kerakusan yang menjijikan persembahan-persembahan dari Altar Tuhan


34

Biarlah hanya yang kecil tinggal padaku dengan apa aku boleh menemani engkau segalanya untukku.

Biarlah hanya yang kecil saja tinggal padaku sehingga aku dapat menamaimu segalanya bagiku.

Biarlah hanya yang kecil saja yang tinggal dari hasratku sehingga aku dapat meresakan engkau ada di tiap sisi, datang padamu dalam segala sesuatu, dan mempersembahkan cintaku padamu setiap waktu.

Biarlah hanya yang kecil tinggal untukku sehingga aku tak akan pernah perlu menyembunyikanmu.

Biarlah hanya yang kecil dari belengguku yang tinggal padaku sehingga aku dapat membelengggu diri kepada kehendakmu, dan tujuanmu akan terselenggara dalam kehidupan dan itulah belenggu cintamu.

35


Bila pikiran sudah tanpa rasa takut dan kepala selalu tegak;

Bila pengetahuan telah bebas;

Bila ada dunia ini belum lagi terpecah-pecah ke dalam bagian-bagian dengan tembok-tembok negeri yang sempit;

Bila ada kata-kata yang terbit dari lubuk kebenaran;

Bila perjuangan yang tak kenal lelah merentangkan tangannya ke arah kesempurnaan;

Bila aliran akal yang jernih tidak kehilangan jalannya menuju gurun pasir yang menjemukan dari kebiasaan yang mati;

Bila jiwa diarahkan ke depan olehmu menuju pemikiran dan tindakan yang selalu meluas

Menuju surga kebebasan, Bapaku, biarkanlah negeriku bangkit.


36

Inilah doaku kepadamu, tuanku cabut, cabutlah akar kebobrokan yang ada di dalam hatiku.

Berilah aku kekuatan yang lembut untuk menyuburkan cintaku dalam pelayanan.

Berilah aku kekuatan untuk tidak pernah memungkiri yang miskin dan bertekuk lutut dihadapan kekuasaan yang kejam.

Berilah aku kekuatan untuk membangkitkan jiwaku menjulang tinggi di atas tetek-bengek urusan sehari-hari.

Dan berilah aku kekuatan untuk memasrahkan kekuatanku kepada kehendakmu dengan cinta.


37

Aku merasa perjalananku telah berakhir pada batas kekuatanku yang penghabisan,
Jalan setapak di hadapanku telah tertutup, perbekalanku telah habis dan sudah saatnya berlindung di balik kegelapan yang sunyi.

Tetapi kudapi bahwa kehendakmu tak kenal akhir untukku. Dan ketika kata-kata lama hilang lenyap dari lidahku, melodi-melodi baru tiba-tiba bersorak dari dalam hatiku; dan ketika jejak-jejak lama terhapus, negeri baru disingkapkan bersama keajaiban-keajaiban.


38

Engkaulah yang kudambakan, hanya engkau biarkan hatiku mengulangnya tanpa henti. Semua keinginan yang mengusikku siang malam, adalah sesaat dan kosong melompong.

Seperti malam tetap tersembunyi dalam permohonannya akan terang cahaya, demikian jualah di kedalaman ketaksadaranku bergema tangisanku mendambakanmu, hanya engkau.

Seperti badai masih mencari jalannya dalam ketentraman kala ia menyerang ketentraman dengan sekuat tenaga, demikian jualah pemberontakanku yang menyerang cintamu dan tangisnya masih aku mendambakanmu, hanya engkau.

Kala hatiku mengering dan tandus, datanglah padaku bersama hujan ampunan.
Kala rahmat raib dari kehidupan, datanglah bersama kidung yang melimpah.

Kala pekerjaan yang taramat sibuk membangkitkan hiruk pikuk di segala sudut hingga menghalangiku dari dunia luar, bersama ketentraman dan ketenanganmu.

Kala hatiku yang masih duduk mendekam, bungkam di satu sudut, dobraklah pintu, rajaku, dan datanglah bersama kemegahan seorang raja.

Kala keinginan membutakan jiwa dengan khayalan dan debu.

O engkau yang maha suci, engkau yang tak pernah terlena, datanglah bersama kilat dan petir.

40

Hujan telah tertahan berhari-hari, Tuhanku, dalam hatiku yang gersang. Kaki langit telanjang bulat tak ada selembar awan tipis pun menutupi, tak ada sekecil apa pun tanda-tanda akan datngnya hujan yang menyejukkan.

Datangkanlah badai amarahmu, yang gelap bersama kematian, jika itulah kehendakmu, beserta lecutan petirmu yang akan menggetarkan hingga ke sudut-sudut langit.

Dan ambil kembali, tuanku, ambil kembali kehangatan yang menyebar dalam diam, bisu dan ganas, membakar hatiku dengan keputusasaan yang mengerikan.

Biarlah awan kemurahan merunduk merendah dari atas laksana tatapan mata ibunda yang berkaca-kaca kala di waktu sang ayah murka.


41

Dimanakah engkau bersembunyi di belakang mereka, kekasihku, menyembunyikan dirimu dalam kegelapan? Mereka mendorong dan meninggalkanmu di jalanan berdebu, dan tidak mengajakmu serta. Di sini aku menanti jam-jam yang membosankan, menebarkan persembahan-persembahanku untukmu, sementara orang-orang yang lewat memunguti bunga persembahanku satu persatu, keranjangku kini hampir kosong.

Pagi sudah lewat, begitu juga tengah hari. Dalam naungan senja mataku dilanda kantuk. Orang – orang yang pulang ke rumah sekilas memandangku dan tersenyum dan mengguratkan malu di hatiku, Aku duduk seperti gadis pengemis, kutarik bajuku menutupi wajahku dan ketika mereka menanyaiku, apa yang kuinginkan, aku mencucurkan airmata dan tak menjawab mereka.

Oh, bagaimana mungkin kuceritakan pada mereka bahwa untukmu aku menunggu, dan bahwa engkau telah berjanji akan datang. Bagaimana mungkin ku ucapkan tanpa malu bahwa aku menyimpan maskawin yang miskin ini. Ah, kudekap erat kebanggaan ini di hatiku yang paling tersembunyi.

Aku duduk di atas rumput menatap langit dan memimpikan kedatanganmu yang tiba-tiba dalam kemegahan semua lampu terang benderang, panji-panji emas berkibar di atas keretamu, dan mereka yang berdiri di sepanjang jalan ini terkesima, kala mereka melihat engkau turun dari tempat dudukmu menghampiri dan mengangkatku dari debu, dan mendudukkan di sampingmu aku gadis pengemis berpakaian compang-camping yang gemeteran karena malu dan bangga, laksana tumbuhan merambat diterpa angin sepoi-sepoi musim panas.

Tetapi waktu berlalu dan masih belum terdengar derap roda kereta perangmu. Banyak iring-iringan lewat dengan suara gaduh dan sorak-sorai serta puji-pujian yang riuh rendah. Engkaulah itu satu-satunya yang akan berdiri dalam bayangan keheningan dan ada di belakang mereka semua? Dan hanya akukah orang yang menanti dengan banjir airmata dan hati yang lelah dalam kerinduan yang sia-sia?


42

Di pagi yang masih buta telah dibisikan bahwa kita akan berlayar dalam sebuah perahu, hanya engkau dan aku, dan tak satu ruh pun di dunia ini akan pernah tahu perjalanan panjang kita yang tak bertujuan dan tanpa akhir ini.

Berlayar di Samudera yang tak bertepi, dalam senyummu yang diam mendengar kidunganku akan semakin lincah dalam melodinya, bebas laksana gelombang, bebas dari semua perbudakan kata-kata.

Belum tibakah saatnya? Masih adakah tugas-tugas yang harus dikerjakan? Lihat, senja telah menyelimuti pantai dan bersama pudarnya cahaya burung-burung camar terbang kembali ke sarangnya.

Siapa yang tahu kapan rantai-rantai akan diputuskan, dan sang perahu, laksana cahaya mentari terbenam yang meredup, lenyap ke dalam gelap malam?

43

Hari itu kala akyu sedang tidak bersiap menyambutmu tanpa di undang engkau memasuki hatiku seakan engkau orang dari kerumunan, yang tak kukenal, rajaku, engkau benar-benar menempelkan materai keabadian pada hidupku yang berlalu cepat.

Dan hari ini ketika kebetulan aku menatap mereka dan melihat ada tanda darimu, kudapat mereka berserakan dalam debu bercampur kenangan akan kesenangan dan kesedihan hari-hariku yang tak berarti dan terlupakan.

Engkau tidak berpaling dengan sikap menghina sejak aku masih kanak-kanak yang bermain di atas tanah berdebu, dan langkah-langkah yang kudengar di dalam ruang bermainku sama dengan yang menggema di antara bintang-bintang.

44

Inilah kegembiraanku, menanti dan menyaksikan dari tepi jalan ketika kegelapan mengusir terang dan hujan turun sesudah musim panas.

Para kurir, dengan berita-berita dari langit-langit yang tak ku kenal, memberi salam padaku dan melunur cepat di sepanjang jalan. Hatiku begitu gembira, dan hembusan angin sepoi-sepoi yang lewat terasa segar.

Dari terbit hingga terbenamnya mentari aku duduk di sini, di depan pintu, dan aku tahu bahwa saat bahagia akan muncul tiba-tiba bila aku telah bertemu dengannya. Aku tersenyum dan berkidung seorang diri.

Sementara udara dipenuhi dengan wangi aroma janji.

45

Tak kau dengarkah langkah-langkahnya yang bisu? Ia datang, datang, selalu datang.

Setiap saat dan setiap zaman, setiap hari dan setiap malam ia datang, selalu datang.

Banyak lagu telah ku kidungkan dalam aneka suasana jiwaku, tetapi catatan-catatan mereka selalu menanyakan, “Ia datang, datang, selalu datang.”

Di hari-hari April yang cerah dan harum ia melintasi jalan setapak di hutan, ia datang, datang, selalu datang.

Dalam kegelapan malam-malam bulan Juli yang berhujan dalam kereta perang awan-awan yang bergemuruh ia datang, datang, selalu datang.

Dalam kesedihan yang berlarut-larut langkah-langkahnya menekan hatiku, dan sentuhan mulia kakinya membuat kegembiraanku bersinar lagi.


46

Aku tak tahu dari zaman mana engkau datang makin dekat untuk bertemu denganku. Matahari dan bintang-bintangmu tak pernah mampu membiarkanmu tersembunyi dariku.

Dalam banyak pagi dan petang langkah-langkahmu telah terdengar dan utusanmu telah datang ke dalam hatiku dan memanggilku secara rahasia.

Aku tak tahu mengapa hari ini hidupku seluruhnya terjaga, dan sebuah rasa gembira yang menggetar-kan melintas melalui hatiku.

Ia bagaikan waktu yang datang untuk menyelesaikan pekerjaanku, dan aku merasakan semerbak samar-samar keharuman kehadiranmu di udara.

47

Malam yang dihabiskan menunggumu hampir sia-sia. Aku takut kalau-kalau di pagi hari mendadak ia datang ke pintuku kala aku jatuh tertidur kelelahan. Oh, sahabatku, biarkan jalan terbuka untuknya-jangan melarangnya.

Jika bunyi langkah-langkahnya tidak membangunkanku, jangan mencoba membangunkanku, aku berdoa. Aku tidak ingin dibangunkan dari tidurku oleh paduan suara burung-burung yang membisingkan, oleh hura-hura angin pada sayembara terang hari. Biarkan tidurku tak terganggu meskipun tuanku datang tiba-tiba ke pintuku.

Ah, tidurku yang indah, yang hanya menanti satu sentuhan lembutnya untuk membuyarkan. Ah, mataku yang tertutup yang akan membuka kelopaknya hanya kepada cahaya senyumannya kala ia berdiri di hadapanku seperti sebuah mimpi yang muncul dari kegelapan tidur.

Biarkan dia tampak di hadapan pandanganku sebagai yang pertama dari semua cahaya dan semua bentuk. Getar kegembiraan yang pertama yang menyentak ruhku biarlah databg dari kilas pandangan matanya. Dan biarlah kembalinya aku kepada diriku sendiri adalah kembali kepadanya.


48

Keheningan lautan pagi dipecahkan oleh cerecau kidung burung, dan bunga-bunga semuanya bersuka ria di tepi jalan, dan kekayaan emas ditebarkan melalui celah awan-awan sementara kita sibuk melanjutkan perjalanan kita tanpa memperhatikannya.

Kita tidak mendendangkan lagu-lagu gembira dan tidak bermain; kita tidak pergi ke desa untuk menukarkan barang-barang; kita tidak mengucapkan sepatah kata ataupun tersenyum; kita tidak berlambat-lambat di jalan. Kita mempercepat langkah, semakin cepat, berpacu bersama waktu.

Sang surya naik ke tengah langit dan burung dara mendekur dalam naungan-Nya. Daun-daun kering menari-nari dan berputar-putar di udara siang yang panas. Lelaki penggembala itu mengantuk dan bermimpi di bawah bayangan pohon beringin, dan aku merentangkan tubuhku di atas rerumputan. Teman-temanku tertawa menghinaku, mereka tak pernah menoleh kebelakang ataupun berhenti, mereka menghilang dalam kabut biru di kejahuan. Mereka melintasi bukit-bukit dan lembah-lembah, dan melewati negeri-negeri yang jauh. Segala hormat bagimu, satria gagah perkasa yang menmpuh jalan tak berujung! Penghinaan dan ejekan dilontarkan untuk memancingku, tapi aku tak pernah menanggapi mereka. Aku memasrahkan diri kalah dalam benaman rasa malu dalam bayangan kegembiraan samar.

Ketenganan matahari yang bersulam warna hijau muram perlahan menyebar dalam hatiku. Aku telah lupa untuk apa aku menempuh perjalanan ini, dan aku menyerahklan jiwaku tanpa berjuang melawan bayang-bayang dan lagu-lagu yang membingungkan.

Akhirnya, tatkala aku bangun dari tidur dan membuka mataku, aku melihatmu berdiri di sampingku, menyelimuti tidurku dengan senyummu. Padahal aku sedemikian khawatir, bahwa jalan yang harus kulalui akan begitu panjang dan melelahkan, dan perjuangan mencapaimu akan begitu berat.


49

Engkau turun dari singgasanamu dan berdiri di pintu pondokku.

Aku telah berkidung di satu sudut sendirian, dan melodi itu terdengar ke telingamu. Engkau datang dan berdiri di pintu pondokku.

Banyak pandita menyambutmu, dan lagu-lagu dikidungkan setiap saat. Namun lagu pujian dari si magang ini telah menghantam cintamu. Orang kecil yang bersedih memaksakan bergaul dengan musik besar di dunia, dan dengan sekuntum bunga sebagai hadiah engkau datang dan berhenti di pintu pondokku.


50

Aku telah pergi mengemis dari pintu ke pintu di jalanan desa, kala kereta perangmu yang berlapis emas tampak di kejauhan laksana mimpi yang indah dan aku heran siapakah Raja segala raja ini !

Harapan-harapanku melambung tinggi, dan aku merasa hari-hari yang malang telah berakhir, kini aku berdiri menunggu sedekah tanpa meminta dan kejayaan akan ditebarkan di segala penjuru di atas tanah.

Kereta perangmu berhenti tepat di depanku. Tatapanmu tertumbuk padaku dan engkau turun dengan tersenyum. Aku merasa akhirnya hari keberuntunganku telah tiba. Tiba-tiba engkau memegang tangan kananku dan berkata “Apa yang akan engkau berikan padaku?”
Ah, alangkah berajanya gurauan ini, engkau buka telapak tanganmu meminta kepada seorang pengemis! Aku bingung dan berdiri dalam keraguan, lalu dari kantung kumalku perlahan kukeluarkan butiran jagung yang paling kecil dan kuberikan padamu.

Tapi, betapa herannya aku, kala hari sudah senja, kutumpumpahkan isi kantungku dan kudapatkan butiran-butiran emas. Aku menangis sedih dan sangat menyesal, seharusnya aku berikan semua milikku padamu dengan sepenuh hati.


51

Malam gelap gulita. Tugas-tugas siang hari telah diselesaikan. Kami kira tamu terakhir malam ini telah tiba dan semua pintu di desa telah tertutup. Hanya seseorang yang berkata Sang Raja datang. Kami tertawa dan berkata, “Tidak, tidak mungkin!”

Terdengar ada yang mngetuk pintu, dan kami mengatakan itu hanyalah angin. Kami padamkan lampu dan berbaring tidur. Hanya seorang yang berkata,”Itu kurir!” Kami tertawa dan berkata,”Bukan, itu pasti angin!”

Terdengar suara di kesenypan malam. Kami yamg terkantuk-kantuk mengira itu bunyi guruh di kejauhan. Tanah bergetar, dinding bergoyang, membuat kami susah tidur. Hanya seorang berkata itu suara roda. Kami bergumam dalam kantuk, “Bukan, itu pasti awan-awan yang bergemuruh!”

Malam masih gelap kala bunyi genderang mendetam. Terdengar suara, “Bangun! Tunggu apa lagi!” Kami mendekapkan tangan ke dada dan gemetar ketakutan. Seseorang berkata”Lihat, ada panji sang raja!” Kami bangkit berdiri dan berseru “Tak boleh menunda-nunda waktu lagi!”

Sang raja telah datang tetapi di mana lampu-lampu, dimana kalungan bunga? Di mana tahta tempat duduknya? Oh, memalukan, benar-benar memalukan! Di mana ruang pertemuan, di mana hiasan-hiasan? Seseorang berkata, “Bodoh berteriak teriak begitu! Sambut ia dengan tangan kosong, bawa ia ke bilik-bilikmu yang sederhana!”

Buka pintu, biarlah kulit-kulit kerang berdenting! Dalam larutnya malam sang raja telah datang ke rumah kita yang gelap dan menyedihkan. Guruh mengguntur di angkasa. Kegelapan gemeteran oleh kilat. Bawa keluar tikarmu yang compang camping dan bentangkanlah di halaman. Bersama badai yang mendadak raja kita telah datang di malam yang menakutkan.


52


Aku bermaksud meminta padamu tetapi aku tak berani kalung bunga mawar yang melingkar di lehermu. Lalu kutunggu hingga pagi hari, kala engkau telah pergi, untuk mendapatkan potongan-potongannya yang tertinggal di pembaringan. Dan laksana seorang pengemis aku mencari-cari di pagi hari hanya untuk satu atau dua kelompok bunga yang tertinggal.

Ah, diriku, apa yang kudapat? Apa kenang-kenangan yang ditinggalkan oleh cintamu? Tak ada bunga, tak ada wewangian, tak ada buli-buli berisi air wangi. Yang ada hanyalah pedangmu yang sangat kuat, berkilau-kilauan laksana kobaran api, berat laksana ledakan petir. Cahaya lembut terang pagi masuk lewat jendela membentang ke atas pembaringanmu. Burung pagi mencicit dan bertanya, “Perempuan, apa yang telah kau dapatkan?” Tidak, tidak ada bunga, tidak ada wewangian, dan tidak ada buli-buli berisi air wangi hanya ada pandangmu yang mengerikan.

Aku duduk dan termenung dalam keharuan hadiah apa yang engkau berikan ini. Aku tak mendapatkan tempat untuk menyembunyikannya. Aku malu menyandangnya, betapa lemahnya aku, dan pedang itu melukaiku kala kupeluk erat-erat. Namun aku menerima di hatiku kehormatan dalam beban menyakitkan ini, pemberiamu ini.

Mulai saat ini tak akan ada lagi ketakutan yang tinggal di hatiku di dunia ini, dan engkau akan menjadi pemenang dalam segala perkaraku. Engkau telah meninggalkan kematian untuk menjadi sahabatku dan aku memahkotainya dengan kehidupanku. Dengan pedangmu akan kuretas terpotong-potong segala pengikatku, dan takkan ada lagi ketakutan di dunia ini yang tertinggal padaku.

Mulai saat ini aku menjauhkan diri dari semua hiasan-hiasan yang tak berarti. Penguasa hatiku, di sisni takkan ada lagi sikap malu-malu dan bermanis-manis. Engkau telah memberikan pedangmu padaku sebagai penghias. Tak ada lagi hiasan-hiasan lain bagiku.



53

Betapa indahnya gelangmu, berhiasakan bintang-bintang dan terbuat dari permata berwarna-warni. Namun bagiku pedangmu lebih indah dengan garis lengkung kilatnya laksana sayap-sayap burung dewa Vishnu yang terbentang lebar, siaga dalam cahaya merah menyala matahari terbenam.

Getar-getarnya laksana jawaban akhir kehidupan seseorang di puncak rasa sakit pukulan maut kematian, sinarnya laksana api suci yang sedang membakar habis perasaan duniawi dengan satu kilatan dahsyat.

Betapa indahnya gelangmu, berhiaskan permata-permata yang gemerlapan, tetapi pedangmu, O penguasa guntur, ditempa sangat indah, ngeri melihat atau memikirkannya.


54

Tak kuminta apa pun darimu, tak kuucapkan namaku ke telingamu. Kala engkau mengucapkan selamat tinggal aku berdiri membisu. Aku sendirian di pinggir telaga tempat bayangan pohon melintas jatuh, dan perempuan-perempuan itu telah kembali ke rumah dengan kendinya yang berwarna coklat tanah penuh berisi air. Mereka memanggilku dan berteriak, “Ayo bersama kami, pagi sedang beringsut memanjat siang.” Namun aku jalan berlambat-lambat acuh tak acuh sebentar larut dalam renungan-renungan kabur.

Tak kudengar langkah-langkahmu mendekat. Matamu sedih kala tertumbuk padaku; suaramu letih hingga bicaramu lemah” Ah, aku seorang pengembara yang kehausan.” Aku tersentak dari lamunan lalu kutuangkan air dari kendiku ke dalam kedua telapak tanganmu yang merapat. Dedaunan gemersik di atas kepala kita, burung kuku bernyanyi di tempat gelap yang tak nampak, dan semerbak wangi bunga-bunga babla menyeruak dari tikungan jalan.

Aku berdiri malu tak mampu berucap kala engkau tanyakan namaku. Memangnya apa yang telah kulakukan untukmu hingga engkau ingin mengingatku? Tetapi kenangan bahwa aku dapat memberimu air penghilang dahaganmu akan melekat di hatiku dan terbungkus dalam kemanisan. Pagi hampir usai, burung itu masih bernyanyi dengan nada-nada yang membosankan, daun-daun neem gemerisik di atas kepala dan aku duduk merenung dan terus merenung.


55

Kesunyian masih bercokol di hatimu dan tidur masih bergayut di matamu.

Belum sampaikan padamu cerita bahwa bunga yang tersebar diantara semak berduri sedang mekar? Bangun, oh bangunlah! Jangan biarkan waktu berlalu sia-sia!

Di ujung jalan berbatu, di negeri terpencil yang masih perawan sahabatku sedang duduk sendirian. Jangan bohongi dia. Bangun, oh bangunlah!

Bagaimana jika langit terengah-engah dan menggelepar oleh teriknya mentari siang bagaimana jika pasir yang sedang terbakar emenbarkan jubah kehausannya.

Tak adakah kegembiraan di hatimu? Di setiap langkah kakimu, tidakkah harpa jalan akan melantunkan musik syahdu kepedihan?


56

Begitu penuhnya kegiranganmu padaku. Karenanya engkau turun menghampiriku. O engkau penguasa segala langit, akan kemanakah cintamu jika aku tiada?
Engkau telah menjadikanku sebagai mitramu untuk semua kekayaan ini. Di hatiku ada permainan kesenanganmu yang tak berakhir. Dalam hidupku kehendakmu selalu terlaksana.

Dan untuk ini,engkau adalah Raja segala raja, menghias dirimu dengan indah untuk menawan hatiku. Dan untuk ini cintamu melupakan diri dalam cinta kekasihmu dan di sana engkau terlihat dalam kesatuan yang sempurna dengan keduanya.


57

Cahaya, cahayaku, cahaya yang memenuhi isi dunia, mata mengecup cahaya, hatiku memaniskan cahaya!

Ah, cahaya itu menari, sayangku, di pusat hidupku, cahaya itu memetik, sayangku, dawai-dawai kecapi cintaku, langit terbuka, angin bertiup kencang, gelak tawa melintasi bumi.

Kupu-kupu membentangkan sayap-sayapnya di atas lautan cahaya. Bunga-bunga bakung dan melati mendesak hingga ke puncak gelombang-gelombang cahaya.

Cahaya tercerai bertebaran dalam warna keemasan di setiap awan, sayangku, dan menebarkan batu-batu permata dengan borosnya.

Keriangan membentang dari daun ke daun, sayangku dan kegembiraan tak terkira. Sungai surgawi telah menenggelamkan tepinya dan banjir kegembiraan meluap.

Biarkan musik kegembiraan berbaur dalam tembang terakhirku- kegembiraan yang membuat tanah tak mengeluh ditumbuhi rerumputan liar yang amat lebat, kegembiraan dan kematian, menari di seantero bumi nan luas, kegembiraan yang menyapu bersama badai, menggetarkan dan membangunkan semua kehidupan dengan gelak tawa, kegembiraan yang masih duduk dengan derai airmata pada teratai merah kepedihan, dan kegembiraan yang mengganti kulit segala benda yang telah berdebu, tanpa sempat berkata-kata.


59

Ya, Kutahu, ini tak lain dari cintamu, Oh kekasih hatiku cahaya keemasan yang menari-nari di atas dedaunan, awan-awan yang bermalas-malasan sedang melinrasi angkasa, angin yang bertiup sepoi-sepoi tinggalkan kesejukan di dahiku. Terang pagi telah memenuhi mataku inilah pesanmu buat hatiku. Wajahmu melongok dari atas, matamu menatap mataku, dan hatiku telah menyentuh kakimu.


60

Engkau telah memperkenalkan aku pada sahabat-sahabat yang tak kukenal. Engkau telah memberiku tempat di rumah-rumah yang bukan milikmu. Engkau telah mendekatkan yang jauh dan membuat seorang asing menjadi saudara.

Hatiku cemas kala aku harus meninggalkan naunganku yang biasa, aku lupa bahwa di dalam yang baru masih ada sesuatu dari yang lama, dan aku tahu engkau juga pasti ada di sana.

Lewat kelahiran dan kematian, di dunia ini atau di dunia lain, kemana pun engkau menuntunku, engkaulah, tak lain, yang mereupakan teman kehidupanku yang tak berakhir, yang selalu mempertalikan hatiku dengan ikatan-ikatan suka cita kepada yang asing.

Kala orang mengenalmu, maka tak ada lagi yang asing, tak ada lagi pintu-pintu yang ditutup. Oh, terimalah doaku agar aku tak pernah kehilangan kebahagiaan dari sentuhan yang satu dalam permainan yang banyak.


61

Di kesunyian lereng sungai di tengah-tengah rerumputan yang tinggi aku bertanya padanya, “Nona, hendak pergi kemanakah engkau dengan lenteramu yang kau naungi dengan jubahmu? Rumahku gelap gulita dan sunyi sepi pinjamilah aku lampumu itu!” Sejenak ia membesarkan matanya yang gelap dan melihat wajahku menembusi senja. “Aku datang ke sungai,” katanya, “untuk menghanyutkan lenteraku di arus sungai kala siang sedang berangsur ke barat.” Aku berdiri seorang diri di tengah-tengah rerumputan yang tinggi dan menyaksikan sinar lenteranya yang takut-takut yang sedang hanyau dengan sia-sia dalam arus.

Dalam keheningan rengkuhan malam aku bertanya padanya, “Nona, semua cahaymu telah dinyalakan lalu hendak kemanakah engkau pergi dengan lenteramu? Rumahku gelap gulita dan sunyi senyap, pinjamkan padaku lenteramu”. Ia membesarkan matanya nan gelap pada wajahku dan beberapa saat berdiri dalam keraguan. “Aku datang,” akhirnya ia menjawab, “untukmempersembahkan lenteraku ini kepada langit.” Aku berdiri dan menyaksikan lenteranya menyala di kekosongan.

Di kegelapan malam tak berbulan aku bertanya padanya, “Nona, apa yang engkau cari hingga engkau mendekap lnteramu ke dekat jantungmu? Rumahku gelap gulita dan sunyi senyap- pinjamkan cahayamu kepadaku. “Ia berhenti semenit berpikir dan menatap wajahku dalam kegelapan. “Aku membawa cahayaku,”katanya, berdiri dan menyaksikan lentera kecilnya menghuilang tak berdaya ditengah cahaya-cahaya.


62

Minuman dewata apa yang akan kau dapatkan, Tuhanku, dari cawan kehidupanku yang mampat ini?

Penyairku, inikah kesenanganmu melihat ciptaanmu melalui kedua mataku dan berdiri membisu di pintu gerbang telingaku tuk mendengar harmoni keabadiamu sendiri?

Duniamu merajut kata-kata di pikiranku dan suka citamu menambahkan musik padanya. Engkau memberikan dirimu untukku dalam cinta lalu merasakan seluruh kemanisanmu sendiri di dalam diriku.



63

Ia yang selalu tinggal di dalam wujudku, di akhir sinar dan pandangan sekilas, dia yang tak pernah membuka kerudungnya di terang pagi, akan menjadi hadiah terakhirku untukmu, Tuhanku, terbungkus dalam kidung terakhirku.

Kata-kata telah merayu namun gagal untuk mendapatkannya, bujuk rayu telah direntangkan kepada kedua tangannya yang mendamba dalam kekosongan.

Aku telah berkelana dari negeri ke negeri, kujaga ia di lubuk hatiku, dan bersamanya hidupku telah terbangun dan jatuh, tumbuh dan runtuh.

Banyak pria mengetuk pintuku dan meminangnya kembali pulang dengan putus asa.

Tak seorangpun di dunia ini yang pernah bertemu muka dengannya, dan dia tetap dalam kesepiannya menanti perhatianmu.


64

Engkau adalah langit, tempat nyaman untuk berteduh.

O engkau yang indah, di tempat berteduh itu cintamu menyelimuti jiwa dengan warna-warni, suara-suara dan wewangian.

Pagi datang dengan keranjang emas di tangan kananya membawa kalungan bunga yang indah, diam-diam memahkotai bumi.

Dan senja turun ke wajah padang rumput sunyi yang telah ditinggalkan para penggembala, melalui jalan-jalan yang belum pernah dijejaki, membawa minuman-minuman perdamaian dalam poci emasnya yang berasal dari lautan barat yang tenang.
Tetapi di sana, di tempat bentangan langit yang tak terbatas bagi ruh untuk melarikan diri, bertahtalah cahaya putih yang tak bernoda. Tak ada siang atau malam, tak ada bentuk atau warna, dan tak pernah ada sepatah kata tak pernah ada.


65

Cahaya turun ke atas bumi ini dengan tangan terentang dan berdiri di pintuku sepanjang hari membawa kembali ke kakimu awan-awan yang menguap dari airmata, rintihan dan kidungan-kidunganku.

Dengan penuh kasih sayang engkau lilitkan jubah awan yang samar-samar itu ke sekujur dadamu yang berbintang, lalu mengubahnya menjadi bentuk-bentuk dan lipatan-lipatan yang tak terhitung banyaknya dan memoleskannya dengan warna-warni yang selalu berubah.

Ia begitu ringanny dan bergerak cepat, begitu lembut dan mengharukan serta gelap, hingga engkau mencintainya. O engkau yang tak brnoda dan cerah. Dan karena itulah ia dapat menutupi cahaya putihmu yang mengesankan dengan bayang-bayangnya yang menyedihkan.


66

Arus kehidupan yang sama melalui celah-celah malam dan siangku melalui dunia dan menari-nari dalam ukuran-ukuran yang berirama.

Arus kehidupan yang sama itulah yang menerjang dengan gembira melalui debu tanah dalam balada-balada rerumputan yang tak terhitung dan mendobrak masuk ke dalam lambaian dedaunan dan bunga-bunga yang seakan tanpa irama. Kehidupan yang sama ini pula yang diayunkan di dalam buaian lautan kelahiran dan kematian, kala surut dan mengalir.

Kurasakan sekujur tubuhku menjadi mulia oleh sentuhan dunia kehidupan ini. Dan kebanggaanku berasal dari denyutan kehidupan zaman-zaman yang sedang menari-nari dalam darahku saat ini.


67

Terlalu sulitkah bagimu untuk gembira dengan kegembiraan atas irama ini? Terlempar, hilang dan patah dalam putaran cepat kegembiraan yang menakutkan?

Segala sesuatu gegas berlalu, tak berhenti, tak menoleh, tak ada daya yang menahannya, mereka gegas berlalu.

Tetap melangkah bersama musik yang tak berhenti dan sangat cepat, musim-musim datang menari-neri dan berlalu pergi, warna-warni, nada-nada, dan wewangian tercurah dalam air terjun yang tak berkesudahan dalam kegembiraan yang berlimpah ruah yang berhamburan dan berhenti serta lenyap setiap saat.



68

Bahwa aku harus sangat memperhatikan diriku dan mencermati semua isinya, lalu memantulkan bayang-bayang berwarna pada sinarmu behitulah mayamu.

Engkau letakkan pemisah dalam wujudmu sendiri lalu engkau panggil dirimu yang terpisah itu dalam nada-nada yang tak terhitung banyaknya.Pisahan dirimu ini telah bersarang di tubuhku.

Kidung pilu menggema menembus seluruh angkasa dalam banyak warna senyuman dan airmata, ketakutan-ketakutan dan harapan-harapan, ombak-ombak bangkit lalu tenggelam lagi, mimpi-mimpi hancur dan dibentuk lagi. Dalam diriku adalah kekalahan diri milikmu sendiri.

Sekat yang telah engkau dirikan ini dilukisi dengan gambar-gambar yang tak terhitung banyaknya dengan kuas malam dan siang. Dibaliknya tempat duduk milikmu dirajut dalam kurva-kurva misterius yang berserakan, menolak semua kelurusan garis-garis yang tak berguna.

Pertunjukan besar engkau dan aku telah memenuhi angkasa. Bersama nada darimu dan dariku seluruh udara bergetaran, dan seluruh zaman berlalu dengan menyembunyikan dan mencari engkau dan aku.


69

Dialah, yang tersembunyi, yang membangunkan wujudku dengan sentuhan-sentuhan rahasianya yang sulit dimengerti.

Dialah yang menaruh pesonanya di atas kedua mataku ini dan petikan-petikan lincah pada dawai-dawai kecapi hatiku dalam nada-nada bergantian antara kesenangan dan kepedihan.

Dialah yang merajut jaringan maya ini dalam warna-warni yang meredup, emas dan perak, biru dan hijau, lalu membiarkannya muncul sedikit demi sedikit melalui celah-celah kakinya, yang dalam sentuhannya aku lupa diri.

Hari-hari datang dan zaman-zaman berlalu, dan dialah yang selalu mengharukan hatiku dalam banyak nama, dalam banyak penyamaran, dalam banyak kesenangan dan kesedihan.


70

Pembebasan bagiku bukanlah penyangkalan. Kurasakan kebebasan dalam seribu kekang kesenangan.

Engkau selalu menuangkan minuman anggurmu yang segar berwarna-warni dan wangi untukku, memenuhi poci tanah ini hingga mampat.

Duniaku akan menyalakan ratusan lampu-lampu yang berbeda-beda dengan sinarnya dan menaruhnya di depan altar kuilmu.

Tidak, aku takkan pernah menutup pintu-pintu inderaku. Kesenangan untuk melihat, mendengar dan menyentuh akan membangkitkan kesenanganmu.

Ya, semua ilusiku akan terbakar menyala dalam kebahagiaan percerahan, dan segala hasratku akan masak dalam buah-buah cinta.


71

Hari tak siang lagi, kegelapan menyelubungi bumi. Saatnya aku pergi ke sungai mengisi kendi. Udara senja mendambakan musik air yang sedih. Ah, ia memanggilku masuk ke dalam senja. Di jalan sepi tak ada orang yang lewat, air bertiup kencang, riak-riak riuh berkejaran di sungai.

Aku tak tahu haruskah aku kembali ke rumah. Aku tak tahu siapa yang mungkin akan kutemui. Di sana di bagian sungai yang dangkal di dalam biduk kecil lelaki asing mmainkan kecapinya.


72

Anugerah-anugerahmu turun kepada kami mahluk-mahluk fana ini, memenuhi semua kebutuhan kami, namun kembali mengalir padamu tanpa berkurang sedikitpun.

Sungai telah melaksanakn tugasnya setiap hari, bergegas melintasi ladang-ladang dan dusun-dusun namun arusnya terus menerus berputar untuk membasuh kakimu.

Bunga-bunga mengharumkan udara dengan aromanya namun persembahan akhirnya adalah menyerahkan diri padamu.

Memujamu tidak memiskinkan dunia ini. Dari kata-kata para penyair lahir puji sanjungan untuk mereka, namun maknanya yang terakhir tertuju padamu.


73

Hari demi hari, O penguasa kehidupanku, akankah aku berdiri di hadapanmu bertatap muka? Dengan tangan terlipat, O raja segala dunia, akankah aku berdiri di hadapanmu bertatap muka?

Di bawah keluasan langitmu, dalam keheningan dan kesedihan, dengan kerendahan hati akankah aku berdiri di hadapanmu berhadap-hadapan?

Di dunia mulikmu yang selalu sibuk ini, dengan kerja keras dan perjuangan, diantara kerumunan yang bergegas akankah aku berdiri di hadapanmu bertatap muka?

Dan kala pekerjaanku di dunia ini telah usai, O raja segala raja, sendirian dan tanpa kata akankah aku berdiri di hadapanmu berhadap-hadapan?



74

Aku mengenal engkau sebagai Tuhanku dan aku berdiri jauh aku tak tahu engkau sebagai milikku dan menghampiri lebih dekat.Aku mengenal engkau sebagai ayahku dan aku bersimpuh di kakimu aku tak meraih tanganmu sebagai temanku.

Aku tidak berdiri di tempat engkau turun dan mengambil segala milikmu sebagai milikku sendiri, di sana aku akan mendekapmu ke hati dan menjadikanmu sebagai sahabatku sendiri.

Engkau adalah Saudara diantara saudara-saudaraku, tetapi aku tak memperdulikan mereka, tak kubagi penghasilanku dengan mereka, dan hanya denganmu aku berbagai semua milikku.

Dalam suka dan duka aku tak bersanding dengnan manusia, dan hanya bersanding denganmu. Aku menciutkan diri memasrahkan kehidupanku, hingga aku tak terjun ke dalam sungai besar kehidupan.



75

Kala, semesta masih baru dan bintang-bintang bersinar dalam pendar pertama yang sangat terang, para dewa berkumpul di langit dan berkidung “Oh, gambar yang sempurna! Kegembiraan yang sejati!
Tetapi tiba-tiba ada yang berteriak “Tampaknya di suatu tempat di sana ada rangkaian cahaya yang terputus dan salah satu dari bintang-bintang itu telah hilang.”

Dawai emas harpa mereka terputus, kidung mereka terhenti, mereka menangis ketakutan “Ya, yang hilang itu bintang yang paling indah, puncak kebanggaan segenap penghuni sorga!”

Sejak hari itu pencarian bintang yang hilang tiada henti, tangisan terus berlanjut dari yang satu kepada yang lain meratapi bahwa dunia telah kehilangan satu kegembiraannya!

Hanya di malam yang sangat hening bintang-bintang tersenyum dan berbisik-bisik satu sama lain. “Sia-sialah pencarian ini! Kesempurnaan yang utuh ada dalam semuanya!”



76
Jika bukan takdirku bertemu denganmu dalam hidupku ini maka biarkan aku selalu merasakan bahwa aku rindu tatapanmu izinkan aku tak lupa sesaatpun, perkenankan aku membawa perasaan sedih yang merasuk tiba-tiba ini ke dalam mimpi-mimpi dan saat-saat terjaga.

Kala aku duduk di sisi jalan dan terengah-engah, kala kugelar tikarku melesak dalam debu, biarkan aku merasakan bahwa perjalanan panjang masih terentang di hadapanku izinkan aku tak lupa sesaatpun, perkenankan aku membawa perasaan sedih yang merasuk tiba-tiba ini ke dalam mimpi-mimpi dan saat-saat terjaga.

Kala bilik-bilikku telah dihiasi dan suara-suara seruling serta gelak tawa membahana, biarkan aku selalu merasakan bahwa aku belum mengundangmu singgah kerumahku izinkan aku membawa perasaan sedih yang merasuk tiba-tiba ini ke dalam mimpi-mimpi dan saat-saat terjaga.


77

Aku laksana sisa-sisa awan musim gugur yang mengembara di angkasa dengan sia-sia, O matahariku yang selalu gilang-gemilang! Sentuhanmu belum mencairkan semangatku yang membeku, yang membuatku menyatu dengan terangmu, lalu akupun menghitung bulan demi bulan dan tahun demi tahun terpisah darimu.

Jika memang ini kehendakmu dan jika ini permainanmu, maka ambillah kekosonganku yang berlalu dengan cepat, lukislah ia, sepuhlah dengan emas, layangkan ia pada angin ganas dan betangkan dalam keajaiban yang beraneka rupa.

Dan bila itu memang kehendakmu mengakhiri permainan itu malam ini, aku akan menghilang dan lenyap di kegelapan, atau barangkali ada dalam senyuman pagi nan cerah, dalam sejuknya air bersih yang bening.


78

Kerap kali pada hari menganggur aku bersedih atas waktu yang terbuang. Namun ia tak pernah hilang, Tuanku. Engkau telah mengambil setiap saat kehidupanku ke dalm tanganmu sendiri.

Tersembunyi di jantung benda-benda engkau menyuburkan benih menjadi tunas, tunas menjadi bunga-bunga menjadi buah-buah yang segar.

Aku telah letih dan tidur-tiduran di pembaringan yang sumpek dan membayangkan tak ada lagi pekerjaan. Di pagi hari aku bangun dan mendapati kebunku penh bunga-bunga yang menajubkan.



79

Waktu tak berkesudahan di tanganmu, rajaku. Tak satupun yang dapat menghitung menit-menitmu.

Siang dan malam berlalu dan abad-abad bagaikan bunga mekar dan engkau tahu bagaimana menunggu.

Abad-abadmu susul menyusul menyempurnakan sekuntum mungil bunga liar.

Kami tak punya waktu yang terbuang dan karena itu kami harus berjuang merebut kesempaatan-kesempatan kami. Kami terlalu miskin untuk terlambat.

Dan begitulah waktu berlalu sementara aku memberikannya kepada setiap orang yang memintanya, hingga altarmu kosong dari semua persembahan sampai akhir.

Di penghujung hari aku tergopoh-gopoh dalam ketakutan kalau-kalau gerbangmu sudah ditutup, namun kudapati bahwa selalu masih ada waktu.



80

Bunda, akan kurajut kalung mutiara untuk lehermu dengan airmata kesedihanku.

Bintang-bintang telah menempa gelang yang berkilauan untuk menghiasi kakimu, tetapi kalung buatankulah yang akan bergayut di dadamu.

Kekayaan dan kemasyuran berasal darimu dan hakmulah untuk memberi dan menahannya. Namun kesedihanku ini sepenuhnya milikku, dan kala aku membawanya kepadamu sebagai persembahan engkau membalas dengan rahmatmu.



81

Rasa sakit keterpisahan menyebar ke seluruh muka bumi dan melahirkan segala bentuk benda-benda di langit yang tak terbatas.

Duka keterpisahan itu terlihat dalam keheningan malam dari irama diantara desau dedauan di kegelapan berhujan bulan Juli.

Kepedihan yang meliputi merasuk ke dalam cinta dan hasrat hati, ke dalam penderitaan dan kegembiran di rumah-rumah manusia, dan inilah yang selalu mencair dan mengalir dalam kidung-kidung melalui hati penyairku.



82

Kala pertama kali para prajurit keluar dari gelanggang gurunya, di manakah mereka sembunyikan kekuatannya? Dimana baju perisai dan pedang mereka?

Mereka tampak miskin dan menderita, dan panah-panah dihujankan kepada mereka pada hari mereka keluar dari gelanggang gurunya.

Kala prajurit berbaris kembali ke gelanggang gurunya di mana mereka sembunyikan kekuatannya?

Mereka telh melemparkan pedang dan membuang busur serta panahnya, perdamaian ada di dahinya, dan mereka telah meninggalkan buah-buah kehidupannya dibelakang mereka pada hari mereka berbaris kembali ke gelanggang gurunya.



83

Kematian, abdimu, ada dipintuku. Ia telah menyeberangi lautan yang tak dikenal dan membawa panggilanmu ke rumahku.

Malam gelap gulita dan hatiku sangat takut tetapi aku akan menyalakan lampu, kubuka pintu gerbang dan membungkuk hormat untuk menyambutnya. Kurirmu kini telah berdiri di pintuku.

Aku akan menyembahnya dengan kedua tangan terlipat, dan airmata berderai. Aku akan menyembahnya dan menaruh kekayaan hatiku di kakinya.

Ia akan pergi kembali dengan tugas yang telah diselesaikan, meninggalkan bayangan gelap pada pagi hariku, dan di dalam rumahku yang terlantar hanya diriku yang merana dalam kesepian yang akan tinggal sebagai persembahan terakhirku padamu.



84

Dengan harapan yang nyaris pupus aku mencarinya di setiap sudut kamarku, aku tak menemukannya.

Rumahku kecil dan apa yang telah pergi tempat itu takkan pernah kembali.

Namun istanamu megah tak terbatas, rajaku, dan dalam pencarianku aku telah sampai di pintumu.

Aku berdiri di bawah atap emas langit senjamu dan aku mengangkat mataku yang rindu menatapmu.

Aku telah datang ke ambang keabadian yang darinya tak ada yang dapat lenyap tak ada harapan, tak ada kebahagiaan, tak ada penglihatan akan seraut wajah yang terlihat melalui derai airmata.

Oh, celupkanlah hidupku yang kosong ke dalam samudera iru, ceburkan ke dalam kepenuhan yang terdalam. Biarkan aku sekali merasakan sentuhan indah yang memabukkan dalam keseluruhan alam semesta.



85

Dewa dari kuil yang runtuh! Dawai-dawai Vina yang putus tak lagi mengidungkan pujianmu. Lonceng malam tidak mengumandangkan waktu pemujaan untukmu. Udara masih diam dan bungkam di sekelilingmu.

Di kediamanmu yang terpencil datang angin sepoi-sepoi musim semi yang mengembara. Membawa berita dari bunga-bunga yang tidak dipersembahkan lagi untuk memujamu.

Pengembara- pemuja lamamu yang selalu merindukan tanda mata masih ditolak. Di malam hari, kala api dan bayangan-bayangan bercampur dengan kesuraman debu, ia datang kembali dalam kelelahan ke kuil yang runtuh dengan rasa haus di dalam hatinya.

Kerap kali hari perayaan datang dalam keheningan kepadamu, dewa dari kuil yang runtuh. Kerap kali malam pemujaan berlalu dengan lampu yang padam.

Banyak patung-patung baru dibuat oleh para seniman ahli yang terampil kala waktunya telah tiba.

Hanya sang dewa dari kuil yang runtuh tetap tak dipuja dan dilupakan selamanya.


86

Tak ada lagi kebisingan, kata-kata berbunyi keras dariku begitulah keinginan tuanku. Dari sekarang sampai seterusnya aku berbicara dengan berbisik. Ucapan hatiku akan dibawa dalam desahan sebuah kidung.

Manusia bergegas mendatangi pasar sang Raja. Semua pembeli dan penjual ada di sana. Namun aku tak punya waktu untuk pergi, kala pekerjaan masih banyak.

Kemudian biarkan bunga-bunga muncul di kebunku, meskipun belum waktunya, dan biarkan lebah-lebah tengah hari mulai mengidungkan senandungnya yang lamban.

Banyak hari yang sepenuhnya kuhabiskan dalam perdebatan tentang yang baik dan yang jahat, tetapi kini kesenangan dari teman sepermainanku di hari-hari yang kosong untuk menggambarkan hatiku padanya, dan aku tak tahu mengapa mendadak terhenti ketidak konsekuenan yang sia-sia!



87

Pada hari ketika kematian akan mengetuk pintumu apa yang akan engkau persembahkan padanya?

Oh, aku akan meletakkan pundi-pundi kehidupanku yang penuh di hadapan tamuku aku tak akan pernah membiarkannya pergi dengan tangan hampa.

Semua anggur manis dari segenap hari-hari musim gugur dan malam-malam musim panas, semua upah dan tabungan yang kukumpulkan dari kehidupanku yang sibuk akan kuletakkan di hadapannya menjelang hari-hari ketika kematian akan mengetuk pintuku.



88

O engkau yang terakhir menggenapi kehidupan, Kematian, kematianku, datang dan berbisiklah padaku!

Hari demi hari aku tata terjaga untukmu, untukmu aku telah menerima kegembiraan-kegembiraan dan perasaan-perasaan sakit yang mendadak dari kehidupan.

Semua yang ada padaku, yang kumiliki, yang kuharapkan dan segenap cintaku selalu mengalir padamu di kedalaman yang rahasia. Dengan tatapan sekilas dan terakhir dari matamu dan hidupku selalu akan menjadi milikmu.

Bunga-bunga telah diuntai dan kalungan bunga siap dikenakan pada pengantin laki-laki. Setelah pesta pernikahan pengantin perempuan harus meninggalkan rumahnya dan menjumpai rajanya di kesunyian malam.



89

Aku tahu harinya akan tiba kala penglihatanku atas bumi ini aku lenyap, dan kehidupan akan beristirahat dalam keheningan, menutupkan tirai terakhir pada kedua mataku.

Namun bintang-bintang akan berjaga di malam hari, dan pagi terbit seperti sedia kala, dan jam-jam bergulung laksana ombak-ombak lautan yang mendamparkan segala kesenangan dan kepedihan hati.

Kala aku memikirkan saat-saat terakhirku ini, sumua penghalang dari saat-saat itu patah dan, lewat cahaya kematian, aku melihat duniamu penuh dengan kekayaan yang tak terawat. Kebesaran berada di tempat paling rendah, kebesaran menjadi paling tidak berarti.

Segala yang kurindu dengan dendam dan segala yang kudapatkan biarkan mereka berlalu. Biarkan aku memiliki hanya benda-benda yang dulu kutolak dan tak pernah aku peduli.


90

Aku telah memutuskan untuk pergi. Ucapkanlah selamat berpisah padaku, saudaraku! Kutundukkan kepalaku untuk kalian semua dan aku segera berangkat. Ini aku kembalikan kunci-kunci pintuku dan kuserahkan semua hak atas rumahku. Aku hanya meminta kata-kata terakhir darimu.

Kita telah lama bertetangga, namun aku lebih banyak menerima ketimbang memberi. Kini hari telah senja dan lentera penerang sudut yang gelap telah lenyap. Panggilan telah datang dan aku siap menapaki perjalananku.


91

Pada saat kepergianku ini, doakan semoga berhasil, sahabatku! Langit memerah oleh fajar dan jalanku terhampar indah.

Jangan tanyakan apa yang kubawa untuk bekal ke sana. Aku memulai perjalananku dengan tangan kosong dan hati yang penuh harapan.

Aku akan mengenakan kalungan bunga pernikahanku. Pakaianku bukan pakaian merah kecoklatan para pengembara, dan meskipun ada sejuta bahaya di perjalanan tak akan ada rasa takut di benakku.

Bintang malam akan keluar kala perjalananku kutapaki dan nada-nada sedih dari melodi-melodi senja dibunyikan dari pintu gerbang sang raja.


92

Aku tak sadar pada saat aku pertama kali menyeberangi ambang pintu kehidupan ini.

Kekuatan apakah yang membuatku berkembang ke dalam misteri yang sangat besar ini laksana sepucuk tunas di hutan di tengah malam.

Kala pagi harinya aku melihat terang, sejenak kurasakan bahwa aku bukan orang yang asing di dunia ini, yang misterius tanpa nama dan bentuk telah merengkuhku dalam tangannya dalam wujud ibuku sendiri.

Namun demikian, dalam kematian, yang tak dikenal itu akan tampak sebagaimana yang kukenal. Dan karena aku mencintai kehidupan ini, aku tahu bahwa aku juga harus mencintai kematian.

Bayi itu menangis kala disingkirkan dari susu kanan ibunya, dan dalam sekejap ia telah terlena dengan susu sebelah kiri.


93

Kala aku pergi dari kehidupan ini biarlah ini menjadi kata-kata perpisahanku, bahwa apa yang telah kusaksikan tak mungkin terlampaui. Aku telah merasakan madu tersembunyi dari teratai ini yang mengembang di atas lautan cahaya, dan dengannya aku diberkati. Biarlah ini menjadi kata-kata perpisahanku.

Di ruang permainan dari bentuk-bentuk yang tak terhingga ini aku telah memainkan peranku dan di sini tiba-tiba melihat dia yang tak berbentuk.

Seluruh tubuh dan segenap anggota badanku gemeteran oleh sentuhan dia yang tak tersentuh, dan jika kematian datang ke sini, biarkan dia datang dan biarlah ini menjadi kata-kata perpisahanku.



94

Ketika aku bermain bersamaku, aku tak pernah menanyakan siapakah engkau itu. Aku tak mengenal rasa malu atau rasa takut, hidupku bising bergerubung.

Saat pagi buta engkau akan membangunkan aku dari tidurku laksana seorang temanku sendiri dan membawaku berlari-lari dari satu lapangan ke lapangan lain di dalam hutan.

Pada hari-hari itu aku tak pernah berniat mengetahui makna kidung-kidung yang kau nyanyikan untukku. Suaraku hanya menggunakan nada-nadanya, dan hatiku menari dalam iramanya.

Kini, kala waktu bermain telah usai, pemandangan apakah yang tiba-tiba kulihat ini? Dunia dengan matanya diarahkan ke kakimu berdiri terpesona dengan segenap bintang yang membisu.


95

Aku akan menghiasiku dengan piala-piala dan kalung-kalung bunga kegagalanku. Aku tak pernah punya kekuatan untuk lari dari yang tak terkalahkan.

Aku tahu pasti keangkuhanku akan membentur tembok, kehidupanku akan melepaskan ikatan-ikatannya dalam kesakitan yang bukan kepalang, dan hatiku yang kosong akan menangis tersedu-sedu dalam musik seperti suling bambu yang bergema dan batu akan luluh dalam airmata.

Aku tahu pasti ratusan kelopak teratai takkan tetap tertutup untuk selamanya dan tempat tersembunyi bagi madunya akan dikuakkan.

Dari langit biru sebuah mata akan menatap dan memanggilku dalam keheningan. Tak akan ada yang tinggal bagiku, tak ada apa pun, dan kematian akan kusumbat di kakimu.

96

Ketika kuserahkan kemudi kepadamu aku tahu waktunya telah tiba bagimu untuk mengambilnya. Apa yang harus terjadi akan segera terjadi. Tak ada gunanya mencegah atau menolaknya.

Maka angkatlah tanganmu dan dengan diam bersabarlah dalam kekalahanmu, hatiku, dan anggaplah nasib baik bagimu untuk tetap duduk dan diam di tempat engkau diletakkan.

Lentera-lenteraku ini padam setiap angin kecil bertiup dan kala kucoba menyalakannya aku melupakan semua yang lainnya, lagi dan lagi.

Tetapi saat ini aku harus bijak dan menanti dalam gelap, menebarkan tikarku di atas lantai, dan kapan saja engkau berkenan, rajaku, datanglah dengan diam dan duduklah di sini.


97

Aku menyelam ke dasar lautan bentuk-bentuk berharap dapat menemukan mutiara kesempurnaan tanpa bentuk.

Tak lagi berlayar dari satu pelabuhn ke pelabuhan lainnya dengan kapalku yang telah aus ini. Hari-hari lama berlalu kala kapalku diombang-ambing gelombang.

Dan kini aku tak sabar untuk mati dalam keabadian.

Melintasi jurang yang tak terduga dalamnya di mana mengalun musik dari dawai-dawai tak bernada akan kubawa harpa kehidupanku.

Aku akan ketika ia telah menangiskan ucapan terakhir, akan kubaringkan harpaku yang bisu di kaki kesunyian.


98

Selalu, dalam hidupku, aku mencarimu bersama kidung-kidungku. Mereka membawaku dari pintu ke pintu, dan bersama mereka aku merasakan diriku, mencari dan menyentuh duniaku.

Kidung-kidung itulah yang mengajariku semua pelajaran yang pernah kupelajari, kepadaku ditujukkannya jalan-jalan rahasia ke hadapan pandanganku dibawanya bintang-bintang horison hatiku.

Sepanjang hari mereka menuntunku menuju negeri rahasia dari kesenangan dan kepedihan, akhirnya, ke gerbang istana manakah mereka membawaku kala senja di akhir perjalananku?


99

Aku membual kepada manusia bahwa aku mengenalmu. Mereka melihat gambarmu dalam semua karyaku. Mereka datang dan bertanya padaku “siapakah dia?” Aku tak tahu bagaimana menjawab mereka. Kukatakan, “Sebenarnya aku tak dapat mengatakannya.” Mereka menyalahkan aku lalu pergi dengan penghinaan. Dan engkau duduk di sana, tersenyum.

Kurenda kisah tentangmu ke dalam kidung-kidung abadi. Pancaran-pancaran rahasia keluar dari hatiku. Mereka datang dan bertanya padaku, “Ceritakan padaku semua makna kidungmu,” Tak tahu aku bagaimana menjawab mereka. Kukatakan “Ah, siapa yang tahu semua makna itu!” Mereka tersenyum dan pergi kembali dengan mengucapkan penghinaan. Dan engkau duduk di sana, tersenyum.



100

Dalam satu penghormatan padamu, Tuhanku, perkenankan segenap inderaku terbentang dan menyentuhkan dunia ini kakimu.

Laksana mendung bulan Juli yang melayang rendah dengan beban hujannya yang tak menetes, biarkan semua pikiranku merunduk ke bawah pada pintumu dalam satu penghormatan padamu.

Biarkanlah semua kidungku menyatukan ragam nada-nadanya menjadi suatu yang mengalir menuju lautan keheningan dalam satu penghormatan kepadmu.

Laksana sekawanan burung bangau yang rindu pulang terbang siang dan malam kembali ke sarangnya di pegunungan, biarlah segenap hidupku menempuh perjalanannya menuju rumah abadinya dalam satu penghormatan kepadamu.

No comments:

Post a Comment