Friday, 29 April 2011

Puisi - Puisi Rabindranath Tagore (3)

Nukilan No 28, Tukang Kebun

Matamu yang mengandung tanya itu duka. Ia mencari-cari hendak mengetahui isi hatiku, bagai bulan hendak menduga laut.
Telah kusingkapkan hidupku seluruhnya di mukamatamu, tak ada lagi yang tersembunyi atau tertahan. Itulah sebabnya mengapa tak kautahu aku.
Jika hidupku hanya sebutir permata, akan dapat kupecahkan jadi seratus keping dan kurangkai jadi seutas rantai untuk ku kalungkan di lehermu.
Jika ia hanya sekuntum bunga, bundar dan kecildan indah, akan dapat kupetik dari tangkainya untuk kusematkan di rambutmu.
Tetapi ia adalah hati, kekasihku. Di manakah pantai dan dasarnya?
Kau tak tahu batas-batas kerajaan ini, selama kau jadi ratunya.
Jika ia hanya sejenak kesenangan, ia akan mengembang jadi senyuman ringan, dan akan dapat kau lihat dan kau baca dalam sekejap.
Jika ia semata-mata hanya kepedihan, ia akan mencerna jadi airmata bening mengaca, membiaskan rahasianya yang terdalam,tanpa kata.
Tetapi ia adalah cinta, kekasihku.
Kesenangan dan kepedihannya tak berbatas, dantak ada akhirnya kepapaan dan kemewahannya.
Ia dekat padamu seperti hidupmu sendiri,tetapi kau tak pernah dapat mengetahuinya benar-benar.

Nukilan 33, "Tukang Kebun"


Aku cinta padamu, kekasih. Maafkan aku karena cintaku.
Seperti burung kehilangan arahnya, aku tertangkap.
Bila hatiku berguncang, ia pun kehilangan cadarnya
dan telanjanglah. Selimuti dia dengan sayang, kekasih,
dan maafkan aku karena cintaku.
Jika tak dapat engkau mencintai aku, kekasih,
maafkan aku karena pedihku.
Jangan memandang aku dengan marah dari jauh.
Aku akan kembali diam-diam ke sudutku
dan duduk dalam gelap.
Dengan kedua belah tanganku akan kututup maluku yang telanjang.
Palingkan wajahmu dariku, kekasih, dan maafkan aku karena pedihku.
 Jika engkau mencintai aku, kekasih, maafkan aku karena girangku.
Bila hatiku dihanyutkan pasang kebahagiaan, jangan senyumi penyerahanku yang berbahaya itu.
Bila aku duduk di atas tahtaku dan memerintah kau dengan tirani kasihku,
bila aku bagai dewi memberikan anugerahku kepadamu, terimalah pula rasa banggaku, kekasih,
dan maafkan aku karena girangku.

Nukilan ke-41 “Tukang Kebun” 


Ingin aku mengucapkan kata-kata terdalam yang mesti kuucapkan padamu; tetapi tak berani aku, karena takut, engkau akan tertawa.
Itulah sebabnya mengapa kutertawakan diriku sendiri dan kuremukkan rahasiaku dalam bergurau.
Kuringankan kepedihanku, karena takut, engkau akan membuatnya demikian pula.

Ingin aku menyampaikan kata-kata paling benar yang ingin kusampaikan padamu; tetapi tak berani aku, karena takut kalau engkau tak mau mempercayainya.
Itulah sebabnya mengapa kusamarkan kata-kataku dalam dusta, mengatakan yang sebaliknya dari apa yang kumaksud.
Kubuat kepedihanku aneh kelihatan, karena takut, engkau akan membuatnya demikian pula.

Ingin aku memakai kata-kata paling tepat yang kusediakan bagimu; tetapi tak berani aku, karena takut, aku tak akan terbalas dengan harga yang setara.
Itulah sebabnya kusampaikan kata-kata keras padamu dan kubanggakan kekuatanku yang kukuh padu.
Kulukai engkau, karena takut, engkau tak pernah mengenal kepedihan sedikit  juga.

Ingin aku duduk membisu di dekatmu; tetapi tak berani aku, takut kalau hatiku terluncur ke bibirku.
Itulah sebabnya mengapa aku bicara dan mengoceh dengan ringannya dan menyembunyikan hatiku di balik kata-kata.
Kuperlakukan kepedihanku dengan kasar, karena takut, engkau akan memperlakukannya demikian pula.

Ingin aku pergi menjauh dari sisimu; tetapi tak berani aku, karena takut kecemasanku akan terbuka bagimu.
Itulah sebabnya mengapa kutegakkan kepalaku tinggi-tinggi, dan tak peduli datang aku ke hadapanmu.
Tusukan terus menerus dari matamu membuat kepedihanku segar selalu.

Nukilan ke-46 “Tukang Kebun”



Engkau meninggalkan aku dan meneruskan jalanmu.
Kukira aku akan meratapimu dan menempatkan arca rupamu semata dalam hatiku, terbuat dari nyanyian kencana.
Tetapi ah, nasibku yang buruk, alangkah singkatnya waktu.
Keremajaan susut tahun demi tahun; hari-hari musim semi melintas cepat;bunga-bunga yang rapuh mati dengan rela, dan si bijak memperingatkan padaku, bahwa hidup ini hanya setitik embun di atas bunga seroja.
Akankah kulalaikan semua ini untuk memikirkan seorang yang telah berpaling dariku?
Akan kasar dan bodohlah itu, karena waktu itu singkat.
Maka datanglah, malam-malamku berhujan dengan kaki-kaki gemertap;senyumlah, musim gugurku kencana; datanglah, bulan april yang lalai, menebar-tebarkan ciumanmu merata.
Engkau datang, dan engkau, dan engkau juga!
Kekasihku semua, kalian tahu, kita sesama fana.
Adalah bijak, mematahkan hati sendiri untuk seorang, yang menjauhkan hatinya? Karena waktu itu singkat.
Adalah enak duduk di sudut merenungkan dan menuliskan dalam sajak, bahwa engkau seluruh duniaku.
Adalah megah mendekap kesedihan sendirian dan memastikan tak akan terlipur.
Tetapi seraut wajah segar mengintai lewat pintuku dan membukakan matanya memandang mataku.
Aku pun hanya dapat menghapus air mataku dan mengubah nada laguku.
Karena waktu itu singkat.

No comments:

Post a Comment