Saturday 30 April 2011

Puisi - Puisi Rabindranath Tagore (4)

TUKANG BATU 


gambar dipinjam dari : indonesiadiscovery.net
Engkau kira aku anak kecil, ibu, tetapi engkau keliru, karena aku adalah Noto, tukang batu, dan aku berusia tiha tahun. 
Tiap pagi aku naik kereta dan pergi ke kota dan aku susun batu demi batu dengan kapur dan semen dan mendirikan tembok seperti gambar menangkap aku. 
Engkau kira aku bermain rumah-rumahan dengan kerikil dan batu-batu, tetapi aku katakana kepadamu aku mendirikan rumah sungguh-sungguh. 
Ini bukan rumah-rumah kecil karena aku dirikan tiga tingkat dan tiang-tiang yang kuar. 
Tetapi bila engkau tanyakan kepadamu mengapa aku berhenti di sana dan mengapa aku tiada melanjutkan membangun tingkat demi tingkat sehingga atapnya mencapai bintang-bintang, aku yakin aku tiada dapat mengatakan kepadamu dan aku meherani diriku sendiri mengapa aku akan berhenti di mana saja pada segala. 
Aku naiki perancah isa saja aku suka dan ini adalah kegembiraan yang lebih besar daripada hanya bermain-main. Aku mendengar pekerja-pekerja lelaki dan perempuan bernyanyi-nyanyi dalam bekerja dan memalu dan meratapkan atap, gerobak-gerobak berderak-derak sepanjang jalan-jalan, dan musik jalan dari pedagang-pedagang dan penjual-penjual barang logam dan buah-buahan; pada petang hari kanak-kanak lari pulang dari sekolah dan gagak-gagak terbang berkoak-koak ke sarangnya. 
Engkau, Ibu, aku tinggal di dusun kecil di tepi telaga. 
Tetapi bila engkau tanyakan kepadaku mengapa aku tinggal dalam sebuah gubuk beratap jerami sedangkan aku bisa mendirikan rumah-rumah besar dari batu dan mengapa rumahku tidka akan yang terbesar dari semuanya, aku yakin aku tiada dapat mengatakan kepadamu. 



PANGGILAN HIDUP

JIka gong berdegung sepuluh kali di pagi hari dan aku berjalan menuju sekolah, bertemulah aku setiap haru dengan penjual kelontong yang berteriak, “Manik! Manik batu!”
Tak ada yang memburu dia, tak ada jalan yang harus di tempuh, tak ada tem[pat ke mana ia harus pergi.
Aku ingin jadi penjual kelontong yang menghabiskan hari-harinya di jalanan sambil berteriak, Manik! Manik batu!”
JIka sore hari pukul empat aku pulang dari sekolah, kulihat dari gerbang masuk tukang kebun sedang menyabit rumput di halaman.
Ia bekerja sesuka hatinya, mengotori bajunya dengan debu, berjemur dibawah panas matahari, kehujanan tanpa seorang pun melarangnya.
Aku ingin jadi tukang kebun yang bekerja sesuka hari, dan tak seorang melarangku.
Jika malam tiba dan ibu menyuruhku tidur, kulihat lewat jendela, peronda malam bolak-balik di gang.
Jalanan gelap, dan sepi, dan lampu pasar tegak bagai raksasa bermata merah di tengah kepalanya.
Peronda itu berjalan membawa lampunya bersama baying-bayangnya, dan ia tak pernah tidur selama hidupnya.
Aku ingin jadi peronda dan berjalan di jalanan sepanjang malam sambil menghalai baying-bayang dengan lampuku. 



TAMU

Lama tiada tamu berkunjung ke rumah, pintu-pintuku tertutup, jendela terpalang; kupikir malam-malamku akan sepi.
Ketika mataku kubuka kusaksikan gelap telah lenyap.
Aku bangkit dan lari kemudian kulihat batu gapura rumah ku hancur, dan lewat pintu terbuka angin dan cahanyamu mengibarkan bendera-benderanya.
Dulu ketika aku jadi tawanan di rumahku sendiri, dan pintu-pintu tertutup, hatiku senantiasa ingin melarikan diri dan pergi mengembara.
Kini aku masih saja duduk di muka gapuraku yang hancur, menunggu kehadiranmu.
Kini kau telah mengikatku dengan kebebasanku. 

No comments:

Post a Comment