Tokoh Semar juga disebut Ismaya, yang berasal
dari Manik dan Maya. Manik itu Batara Guru, Maya itu Semar. Batara Guru
menguasai kahyangan para dewa dan manusia, sedangkan Semar menguasai bumi dan
manusia. Manik dan Maya lahir dari sebuah wujud sejenis telur yang muncul
bersama suara genta di tengah-tengah kekosongan mutlak (suwung-awang-uwung).
Telur itu pecah menjadi kenyataan fenomena, yakni
langit dan bumi (ruang, kulit telur), gelap dan terang (waktu, putih telur), dan
pelaku di dalam ruang dan waktu (kuning telur menjadi Dewa Manik dan Dewa
Maya). Begitulah kisah Kitab Kejadian masyarakat Jawa.
Kenyataannya, ruang-waktu-pelaku itu selalu
bersifat dua dan kembar. Langit di atas, bumi di bawah. Malam yang gelap, dan
siang yang terang. Manik yang tampan dan kuning kulitnya, Semar (Ismaya) yang
jelek rupanya dan hitam kulitnya. Paradoks pelaku semesta itu dapat
dikembangkan lebih jauh dalam rangkaian paradoks-paradoks yang rumit.
Batara Guru itu mahadewa di dunia atas, Semar
mahadewa di dunia bawah. Batara Guru penguasa kosmos (keteraturan) Batara Semar
penguasa chaos. Batara Guru penuh etiket sopan santun tingkat tinggi,
Batara Semar sepenuhnya urakan.
Batara Guru simbol dari para penguasa dan
raja-raja, Semar adalah simbol rakyat paling jelata. Batara Guru biasanya
digambarkan sering tidak dapat mengendalikan nafsu-nafsunya, Semar justru
sering mengendaikan nafsu-nafsu majikannya dengan kebijaksanaan —
kebijaksanaan. Batara Guru berbicara dalam bahasa prosa, Semar sering menggunakan
bahasa wangsalan (sastra).
Batara Guru lebih banyak marah dan mengambil
keputusan tergesa-gesa, sebaliknya Semar sering menangis menyaksikan
penderitaan majikannya dan sesamanya serta penuh kesabaran.
Batara Guru ditakuti dan disegani para dewa dan
raja-raja, Semar hanyalah pembantu rumah tangga para kesatria. Batara Guru
selalu hidup di lingkungan yang “wangi”, sedang Semar suka kentut sembarangan.
Batara Guru itu pemimpin, Semar itu rakyat jelata yang paling rendah.
Seabrek paradoks masih dapat ditemukan dalam
kisah-kisah wayang kulit. Pelaku kembar semesta di awal penciptaan ini, Batara
Guru dan Batara Semar, siapakah yang lebih utama atau lebih “tua”? Jawabannya
terdapat dalam kitab Manik-Maya (abad ke-19).
Ketika Batara Semar protes kepada Sang Hyang
Wisesa, mengapa ia diciptakan dalam wujud jelek, dan berkulit hitam legam bagai
kain wedelan (biru-hitam), maka Sang Hyang Wisesa (Sang Hyang Tunggal)
menjawab, bahwa warna hitam itu bermakna tidak berubah dan abadi; hitam itu
untuk menyamarkan yang sejatinya “ada” itu “tidak ada”, sedangkan yang “tidak
ada” diterka “bukan”, yang “bukan” diterka “ya”.
Dengan demikian Batara Semar lebih “tua” dari
adiknya Batara Guru. Semar itu “kakak” dan Batara Guru itu “adik”, suatu
pasangan kembar yang paradoks pula.
Semar itu lambang gelap gulita, lambang misteri,
ketidaktahuan mutlak, yang dalam beberapa ajaran mistik sering disebut-sebut
sebagai ketidaktahuan kita mengenai Tuhan.
Mengingat genealogi Semar yang semacam itu dalam
budaya Jawa, maka tidak mengherankan bahwa tokoh Semar selalu hadir dalam
setiap lakon wayang, dan merupakan tokoh wayang yang amat dicintai para
penggemarnya. Meskipun dia hamba, rakyat jelata, buruk rupa, miskin, hitam
legam, namun di balik wujud lahir tersebut tersimpan sifat-sifat mulia, yakni
mengayomi, memecahkan masalah-masalah rumit, sabar, bijaksana, penuh humor.
Kulitnya, luarnya, kasar, sedang dalamnya halus.
Dalam ilmu politik, Semar adalah pengejawantahan dari ungkapan Jawa tentang
kekuasaan, yakni “manunggaling kawula-Gusti” (kesatuan hamba-Raja).
Seorang pemimpin seharusnya menganut filsafat Semar ini.
Seorang pemimpin sebesar bangsa Indonesia ini
harus memadukan antara atas dan bawah, pemimpin dan yang dipimpin, yang diberi
kekuasaan dan yang menjadi sasaran kekuasaan, kepentingan hukum negara dan
kepentingan objek hukum.
Hukum-hukum negara yang baik dari atas, belum
tentu berakibat baik, kalau yang dari atas itu tidak disinkronkan dengan
kepentingan dan kondisi rakyat. Manunggaling kawula-Gusti. Pemimpin
sejati bagi rakyat itu bukan Batara Guru, tetapi Semar. Pemimpin sejati itu
sebuah paradoks.
Semar adalah kakak lebih tua dari Batara Guru
yang terhormat dan penuh etiket kenegaraan-kahiyangan, tetapi ia menyatu dengan
rakyat yang paling papa. Dengan para dewa, Semar tidak pernah berbahasa halus,
tetapi kepada majikan yang diabdinya (rakyat) ia berbahasa halus.
Semar menghormati rakyat jelata lebih dari
menghormati para dewa-dewa pemimpin itu. Semar tidak pernah mengentuti rakyat,
tetapi kerjanya membuang kentut ke arah para dewa yang telah salah bekerja
menjalankan kewajibannya. Semar itu hakikatnya di atas, tetapi eksistensinya di
bawah.
Badan halusnya, karakternya, kualitasnya adalah
tingkat tinggi, tetapi perwujudannya sangat merakyat. Semar gampang menangis
melihat penderitaan manusia yang diabdinya, itulah sebabnya wayang Semar
matanya selalu berair. Semar lebih mampu menangisi orang lain daripada
menangisi dirinya sendiri. Pemimpin Semar sudah tidak peduli dan tidak
memikirkan dirinya sendiri, tetapi hanya memikirkan penderitaan orang lain. Ego
Semar itu telah lenyap, digantikan oleh “yang lain”.
Semar itu seharusnya penguasa dunia atas yang
paling tinggi dalam fenomena, tetapi ia memilih berada di dunia bawah yang
paling bawah. Karena penguasa tertinggi, ia menguasai segalanya. Namun, ia
memilih tidak kaya. Semar dan anak-anaknya itu ikut menumpang makan dalang,
sehingga kalau suguhan tuan rumah kurang enak karena ada yang basi, maka Semar
mencegah anak-anaknya, yang melalui dalang, mencela suguhan tuan rumah. Makanan
apa pun yang datang padanya harus disyukuri sebagai anugerah. Batara Semar, di
tanah Sunda, dikenal dalam wujud Batara Lengser.
Lengser, longsor, lingsir, selalu
berkonotasi “turun”. Semar itu adalah pemimpin tertinggi yang turun ke lapis
paling bawah. Seorang pemimpin tidak melihat yang dipimpinnya dari atas
singgasananya yang terisolasi, tetapi melihat dari arah rakyat yang
dipimpinnya. Seorang pemimin tidak menangisi dirinya yang dihujat rakyat,
tetapi menangisi rakyat yang dihujat bawahan-bawahannya. Seorang pemimpin tidak
marah dimarahi rakyatnya, tetapi memarahi dirinya akibat dimarahi rakyat.
Pemimpin sejati itu, menurut filsafat Semar,
adalah sebuah paradoks. Seorang pemimpin itu majikan sekaligus pelayan, kaya
tetapi tidak terikat kekayaannya, tegas dalam keadilan untuk memutuskan mana
yang benar dan mana yang salah namun tetap berkasih sayang. Filsafat paradoks
kepemimpinan ini sebenarnya bersumber dari kitab Hastabrata atau Delapan Ajaran
Dewa.
Dewa Kekayaan berseberangan dengan Desa
Kedermawanan, yang bermakna seorang pemimpin harus mengusahakan dirinya (dulu,
sebagai raja) agar kaya raya, tetapi kekayaan itu bukan buat dirinya, tetapi
buat rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin Indonesia sekarang ini selayaknya
seorang enterpreneur juga, yang lihai menggali kekayaan buat negara. Dewa
Keadilan berseberangan dengan watak Dewa Kasih Sayang.
Seorang pemimpin harus membela kebenaran,
keadilan, tetapi juga mempertimbangkan rasa keadilannya dengan kasih sayang
untuk memelihara kehidupan.
Dewa Api (keberanian) itu berseberangan dengan
Dewa Laut (air), yakni keberaniannya bertindak melindungi rakyatnya didasari
oleh pertimbangan perhitungan dan kebijaksanaan yang dingin-rasional. Dewa Maut
berseberangan dengan watak Dewa Angin.
Menumpas kejahatan dalam negara itu harus
dipadukan dengan ketelitiannya dalam mengumpulkan detail-detail data, bagai
angin yang mampu memasuki ruang mana pun.
Ajaran tua tentang kekuasaan politik bersumber
dari Hastabrata tersebut, dan dimitoskan dalam diri Semar yang paradoks itu.
Etika kekuasaan itu ada dalam diri tokoh Semar. Ia Dewa Tua tetapi menjadi
hamba.
Ia berkuasa tetapi melayani. Ia kasar di kalangan
atas, tetapi ia halus di kalangan bawah. Ia kaya raya penguasa semesta, tetapi
memilih memakan nasi sisa. Ia marah kalau kalangan atas bertindak tidak adil,
ia menyindir dalam bahasa metafora apabila yang dilayaninya berbuat salah.
Bentuk badan Semar juga paradoks, seperti perempuan tetapi juga mirip lelaki,
kombinasi ketegasan dan kelembutan.
Artikel From ; daydreamer’s daydream
No comments:
Post a Comment