Artikel oleh : Progress
Menyebut nama Kiai Kanjeng mengantar ingatan segera tertuju
pada, pertama, Cak Nun, dan kedua, gamelan. Cak Nun? Ya, karena sesungguhnya
harus diakui komposisi KiaiKanjeng — Cak Nun merupakan suatu gumpalan kekuatan
yang dahsyat dan fenomenal. Komposisi inilah yang mengantarkan persenyawaan
KiaiKanjeng — Cak Nun, sampai sejauh ini, mampu menembus begitu banyak dimensi
nilai dan kehidupan yang belum tentu sanggup digapai kelompok-kelompok musik
lainnya. Komposisi ini membuat KiaiKanjeng bukan sekadar kelompok musik.
Minimal, itu disebabkan karena KiaiKanjeng adalah kelompok musik yang bisa
digambarkan melalui kerangka plus. Kira-kira seperti ini maksudnya.
Tahun 1996, bersama Cak Nun, KiaiKanjeng meluncurkan album
Kado Muhammad. Sambutan masyarakat sangat luar biasa. Hit dalam album itu
adalah Tombo Ati yang dilantunkan Cak Nun diawali dengan bait-bait puisi.
Shalawat dan syiir-syiir khasanah masyarakat Islam mendapat perhatian secara
nasional. Lagu Tombo Ati dilantunkan di berbagai forum. KiaiKanjeng ikut
menaikkan harga diri kultural umat Islam. Mungkin ada kaitannya, mungkin juga
tidak, setelah itu banyak album-album ”religi” muncul dengan mengambil
shalawat-shalawat atau syiir populer di masyarakat sebagai materinya. Dengan
kata lain, KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus menampilkan, menghargai, dan
menghidupkan kekayaaan budaya Islam di tanah air (walaupun mungkin tidak
disebut-sebut oleh generasi sesudahnya, yang juga meluncurkan album-album musik
keislaman, dalam sejumlah wawancara mereka sebagai bagian dari kontinuitas
sejarah musik Islam di Indonesia).
KiaiKanjeng pentas bersama Cak Nun di Bojonegoro untuk
mempertemukan para blandong dengan pemerintah (Perhutani) yang saat itu sedang
berkonflik. Begitu pula di Pati, antara masyarakat petani dengan pemerintah.
Juga sewaktu KiaiKanjeng dan Cak Nun hadir di Kalimantan di antara masyarakat
Dayak dan Sampit yang sedang panas-panasnya bertikai. Di situ KiaiKanjeng ikut
memberikan pelumas jiwa melalui lagu, wirid, dan sholawat mendampingi proses
pencegahan konflik vertikal-horisontal yang dilakukan oleh Cak Nun. Karena itu
KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus ikut mengerjakan upaya pencegahan
konflik.
KiaiKanjeng sudah mengembara jauh hingga di Napoli (7 April
2005) dan mendapat penghargaan luar biasa oleh masyarakat (musik) di sana,
bahkan notasi KiaiKanjeng dari dua karyanya, Pembuko I dan Pembuko II, dan
sebuah alat musiknya yakni Demung ditinggal di sana dan diabadikan di museum
musik klasik dunia. Cak Nun bahkan disebut-sebut sebagai maestro, padahal ia
sendiri tidak mampu memainkan satu alat musik pun. Di tempat itu pula dulu Guiseppe Verdi, Robert Wagner, Guiseppe
Tartini, dan Antonio Vivaldi pernah mempersembahkan karya-karya mereka dan
kemudian meninggalkan alat musik mereka di tempat itu untuk diabadikan. Maka
KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus meraih penghargaan masyarakat (musik)
dunia walaupun agak sepi penghargaan dan apresiasi memadai di negerinya
sendiri.
KiaiKanjeng tampil di komplek Gereja Pugeran Yogyakarta
bersama umat Katolik dan menciptakan kolaborasi musikal dengan mereka, namun
tetap saling menjaga koridor akidah masing-masing. Cak Nun menyampaikan
dasar-dasar toleransi antar umat beragama, bahkan ikut memberikan penjelasan tentang
konsep jihad yang selama ini banyak disalahpahami. Lebih jauh lagi Cak Nun juga
menguraikan makna ideologis ungkapan assalamualaikum sehingga mereka umat
Katolik juga sedikit banyak ikut terbantu memahami. Pentas itu sangat indah dan
penuh suasana saling menghormati. Karena itu, KiaiKanjeng adalah kelompok musik
plus menjalankan penghormatan kepada pemeluk agama lain, menciptakan iklim
harmonis.
Tur KiaiKanjeng di Eropa ikut menaikkan citra positif
tentang Islam, di tengah kecenderungan global mendiskreditkan Islam. Simaklah
pidato Chancellor (Menteri Keuangan Inggris) Gordon Brown usai menyaksikan penampilan KiaiKanjeng dalam The
Muslim News Award of Islamic Excellence 2005 di London 23 Maret 2005.
Martabat Islam dan Indonesia pun terkerek. Begitu pula sebelumnya di Mesir.
Orang-orang di sana terkaget-kaget dan terpesona. Salah seorang pejabat di
Mesir dibuat kebakaran jenggot oleh kefasihan bahasa Arab juru bicara
KiaiKanjeng dan meminta perhatian lebih lanjut agar pendidikan bahasa disana
diperhatikan lebih serius lagi. Lagi-lagi citra Indonesia membaik dari yang
sebelumnya tidak begitu dikenal di sana. KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus
mengerjakan diplomasi kultural mewakili Indonesia.
Beberapa waktu belakangan KiaiKanjeng, dalam sejumlah kehadirannya
di berbagai tempat di tanah air, mengaransir suatu nomor medlei berisi
lagu-lagu seperti Indonesia Pusaka, lagu-lagu daerah, dll untuk membangkitkan
semangat nasionalisme dan kekayaan kultural bangsa. Sementara itu, Cak Nun
panjang lebar mengurai potensi bangsa Indonesia secara psikologis, historis,
antropologis, ekogenetik, dll untuk membangkitkan harga diri orang Indonesia di
tengah semakin tak menjadi fokusnya masalah nasionalisme ini dan di tengah
harga diri bangsa yang kurang sedap di mata dunia. Bahkan Ia meyakinkan banyak
orang bahwa orang Indonesia kelak akan menjadi pemimpin dunia. Maka,
KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus mengerjakan penemuan kembali kesadaran
akan martabat Indonesia (re-nasionalisme), tentunya disertai harapan adanya sinergi
dari petugas-petugas negara yang seyogyanya mengurusi soal-soal nasionalisme.
Walaupun berbagai alat musik dimainkan, namun gamelan
sebenarnya bisa disebut sebagai ciri khas piranti musikal KiaiKanjeng. Bahkan
KiaiKanjeng pada mulanya adalah nama konsep nada gamelan yang dipakai Novi
Budianto dkk, yang bersifat tidak pentatonis dan tidak pula diatonis. Sehingga,
meski wujud lahiriahnya sama persis dengan gamelan Jawa pada umumnya, gamelan
KiaiKanjeng sesungguhnya bukan lagi sekadar gamelan Jawa. Ini memungkinkan
eksplorasi musikal KiaiKanjeng merambah ke mana saja aliran musik. Juga sangat
sesuai dengan keperluan kultural KiaiKanjeng dalam menyapa, menjamu, dan
mengapresiai sedemikian ragamnya segmen audiens KiaiKanjeng, mulai dari rakyat
biasa, kalangan profesional, tukang-tukang becak, kaum marjinal, sampai para
pejabat negara-negara asing. Mulai dari jenis musik Jawa, Arab, pop, jazz, dan
seterusnya. Maka, KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus mencoba menjalankan
kemerdekaan alias tak terkungkung pada satu dua jenis aliran musik.
Di dalam negeri, KiaiKanjeng sudah mengunjungi hampir lebih
dari 376 kabupaten, 930 kecamatan, dan 1300 desa yang tersebar di seluruh
pelosok tanah air bertemu dengan aneka macam jenis masyarakat dengan segala
bentuk interaksi yang terbangun dengan mereka, dengan segala kemungkinan
fenomena yang dihadapi. Penampilan KK di alun-alun, di lapangan, atau di tempat
lain kerap dihadiri ribuan audiens. Karenanya, KiaiKanjeng adalah kelompok
musik yang memiliki jam terbang tak tertandingi dengan jumlah hadirin yang amat
banyak, yang meski demikian tidak merasa diri sebagai artis, public figure, dan
apalagi selebriti. Dan tidak mau dianggap demikian. Itu sebabnya barangkali orang-orang KiaiKanjeng tidak nongol di program
infotainment televisi.
Dan plus-plus itu bisa didaftar lagi….
No comments:
Post a Comment